Minggu, 13 November 2011

Jejak Sejarah

tindakan yang tak meninggalkan jejak. Ada jejak di pasir, di kursi, di dinding, di cangkir; pada rona muka, pada bahasa tubuh, pada gerak mata, di dalam pemikiran, di dalam tulisan, di dalam lukisan. Ada jejak manusia, jejak cicak, jejak buaya. Ada jejak, ruang, jejak waktu, jejak bahasa. Tak ada hari tanpa jejak. Tetapi, tak ada jejak tunggal. Yang ada adalah multiplisitas jejak-jejak.Jejak memiliki dimensi waktu. Jejak ada dalam dimensi waktu. Jejak selalu produk masa lalu, kita melihatnya di masa kini, tetapi ia menunjuk ke masa depan. Jejak adalah sebuah tanda waktu, sebuah ‘juru bicara’ waktu, sebuah ‘saksi waktu’. Melalui jejak kita mengenali waktu, membaca gelagat, memahami zaman. Jejak merekam momen peristiwa, mengukur rentang perjalanan, mencatat durasi kejadian. Tak ada yang luput dari rekaman jejak.Tindakan selalu mendahului jejak. Jejak selalu ada setelah tindakan. Tak pernah jejak mendahului tindakan. Jejak setia pada tindakan. Jejak adalah post-factum tindakan. Jejak adalah sebuah indeks, sebuah akibat, sebuah akhir proses. Kita selalu ‘membaca’ jejak dari belakang, bukan dari depan. Kita selalu ‘mengikuti’ jejak, layaknya filem detektif, bukan diikuti jejak. Kita ‘mencari’ jejak, tak pernah ‘dicari’ jejak. Kita ‘membaca’ jejak, tak pernah ‘dibaca’ jejak.Jejak adalah sebuah petunjuk. Ia menunjuk sebuah arah, membuka sebuah ‘pintu’, memberi sebuah orientasi. Jejak adalah sebuah gerak bolak-balik menuju masa lalu dan masa depan. Orang ‘mencari jejak’, karena ingin mengetahui peristiwa masa lalu. Akan tetapi, orang juga ‘mengikuti jejak’ untuk meramalkan masa depan. Jejak selalu mengarahkan matanya ke arah multiplisitas waktu. Jejak selalu bersifat multidimensi.Jejak adalah sebuah argumen, sebuah narasi, sebuah bahasa, sebuah cerita, sebuah ‘teks’. Jejak ‘dibaca’, ‘dianalisis’, ‘dikaji’, ‘ditranslasi’, ‘ditafsirkan’. Jejak dilindungi karena ia mengandung pengetahuan dan informasi. Jejak dianalisis secara ‘ilmiah’, karena ia dianggap sebuah jalan menuju ‘kebenaran’ (truth). Jejak adalah ‘juru bicara’ kebenaran.Sebab tak semua jejak menggiring pada factum, realitas, kebenaran. Jejak malah sering meninggalkan enigma, teka-teki, ketakpastian, kekaburan, kabut, kegelapan. Jejak ada, tetapi kebenarannya disembunyikan. Tanda ada, tetapi maknanya dipalsukan. Bekas ada, tetapi realitasnya dikaburkan. Yang kita temukan adalah serangkaian jejak tanpa makna, tanda tanpa kebenaran, bekas tanpa tindakan.

Jacques Derrida, di dalam Positions (1987), mengatakan bahwa jejak tak pernah menuju pada sebuah ‘kebenaran akhir’. Jejak hanya menunjuk pada jejak lain—jejak dari jejak—bukan pada kebenaran. Jejak bukan latar, fondasi atau asal usul. Jejak adalah proses pergerakan tanpa akhir. Jejak mengarahkan pada jejak lain, tanda menggiring kita pada tanda lain, bekas membawa pada bekas lain ad infinitum.Akan tetapi, ada jejak yang ‘terlepas’, ‘melepaskan diri’ atau ‘sengaja dilepaskan’ dari tindakan. Tindakan tak lagi meninggalkan jejak. Jejak dihapus setelah tindakan. Jejak ‘mengingkari’ pemiliknya. Melalui jejak palsu, sejarah dipalsukan, kebenaran disembunyikan, pikiran dikaburkan. Jejak mengarahkan pada kegelapan.

Jean Baudrillard, di dalam The Perfect Crime (1996), melukiskan tindakan yang tanpa jejak. Ada tindakan, tak ada jejak. Ada peristiwa, tak ada tanda. Ada kejadian, tak ada bekas. Inilah ‘tindak’ atau ‘kejahatan sempurna’. Ada kejahatan, tak ada korban, tak ada motif, tak ada bukti. Tindakan terputus dari jejak, tanda dan bekas. Jejak bersembunyi di balik tindakan, tanda melebur ke dalam realitas, bekas mencair ke dalam peristiwa.

    Jejak kini digunakan untuk memalsukan kebenaran. Inilah ‘jejak artifisial’, ‘jejak palsu’, ‘jejak buatan’. Jejak kini diproduksi sebagai ‘simulakra jejak’ (simulacra of trace). Inilah jejak yang berpretensi seakan-akan ia ‘refleksi’ realitas, padahal pemalsuan realitas. Jejak kini bukan lagi ‘bukti’ tindakan (suap, penyelewengan, pembunuhan), tetapi bukti tak adanya tindakan. Inilah simulakra barang bukti, berkas, dokumen, rekaman.

Tak hanya ada ‘simulakra jejak’, malah lebih parah lagi, kini ada ‘simulakra tindakan’ (simulacra of action). ‘Tindakan’ (penyuapan, penyelewengan, pembunuhan) dikonstruksi secara artifisial, seakan-akan ia adalah ‘tindakan nyata’ (real action), padahal palsu, gadungan dan artifisial. Tindakan penyuapan itu tak ada, tetapi ditampilkan seakan-akan ada, melalui ‘simulakra’ barang bukti, jejak dan dokumen. Ada jejak, tetapi sesungguhnya tindakannya tak ada.

Ketika jejak diputus dari realitas, ketika jejak menjadi ‘simulakra jejak’, ketika tindakan menjadi ‘simulakra tindakan’, kebenaran ikut melebur menjadi ‘simulakra kebenaran’ (simulacra of truth). Kita lalu dibawa pada contradictio in terminis: sebuah pernyataan yang di titik akhir menyanggah dirinya sendiri. Sebuah kebenaran yang palsu, sebuah kepalsuan yang benar, sebuah kebenaran yang tak-benar, sebuah kepalsuan yang asli, sebuah keaslian yang palsu—sebuah ‘nihilisme’.

    Tak ada lagi yang tersisa dalam kehidupan, bila tak ada lagi ‘jejak sejati’, ‘realitas sejati’ dan ‘kebenaran sejati’ (genuine truth). Hidup yang dikepung kepalsuan akan menjadi bagian dari kepalsuan itu. Tubuh bangsa ini telah kehilangan segala sifat ‘kesejatian’, ketika menciptakan jejak, tindakan, dan kebenaran palsu menjadi hobi, kebiasaan, sarapan pagi, waktu senggang, trend setiap orang. Kepalsuan tanpa beban, manipulasi tanpa rasa bersalah, kebohongan tanpa rasa malu.

Bagaimana jejak melihat masa depan ? ……..

“Kepalsuan adalah masa depan kebenaran”

“Kepalsuan adalah mimpi buruk masa kini, segeralah bangun pagi dengan “realitas sejati” dalam kehidupan yang tersisa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar