Minggu, 22 Januari 2012

KERAJAAN ISMAHAYANA LANDAK


    
Kerajaan Ismahayana Landak adalah sebuah kerajaan yang saat ini berlokasi di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang, meskipun sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini bisa dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari cerita-cerita rakyat yang muncul di Ngabang, Kalimantan Barat, tempat di mana kerajaan ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti arkeologis berupa bangunan istana kerajaan (keraton) hingga atribut-atribut kerajaan yang masih dapat kita saksikan hingga kini dan juga buku Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Gusti Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun 1942, sesungguhnya cukup memadai untuk membuktikan perjalanan panjang kerajaan ini yang secara garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni fase Hindu dan fase Islam, ini telah dimulai sejak tahun 1275 M.

Minggu, 13 November 2011

Jejak Sejarah

tindakan yang tak meninggalkan jejak. Ada jejak di pasir, di kursi, di dinding, di cangkir; pada rona muka, pada bahasa tubuh, pada gerak mata, di dalam pemikiran, di dalam tulisan, di dalam lukisan. Ada jejak manusia, jejak cicak, jejak buaya. Ada jejak, ruang, jejak waktu, jejak bahasa. Tak ada hari tanpa jejak. Tetapi, tak ada jejak tunggal. Yang ada adalah multiplisitas jejak-jejak.Jejak memiliki dimensi waktu. Jejak ada dalam dimensi waktu. Jejak selalu produk masa lalu, kita melihatnya di masa kini, tetapi ia menunjuk ke masa depan. Jejak adalah sebuah tanda waktu, sebuah ‘juru bicara’ waktu, sebuah ‘saksi waktu’. Melalui jejak kita mengenali waktu, membaca gelagat, memahami zaman. Jejak merekam momen peristiwa, mengukur rentang perjalanan, mencatat durasi kejadian. Tak ada yang luput dari rekaman jejak.Tindakan selalu mendahului jejak. Jejak selalu ada setelah tindakan. Tak pernah jejak mendahului tindakan. Jejak setia pada tindakan. Jejak adalah post-factum tindakan. Jejak adalah sebuah indeks, sebuah akibat, sebuah akhir proses. Kita selalu ‘membaca’ jejak dari belakang, bukan dari depan. Kita selalu ‘mengikuti’ jejak, layaknya filem detektif, bukan diikuti jejak. Kita ‘mencari’ jejak, tak pernah ‘dicari’ jejak. Kita ‘membaca’ jejak, tak pernah ‘dibaca’ jejak.Jejak adalah sebuah petunjuk. Ia menunjuk sebuah arah, membuka sebuah ‘pintu’, memberi sebuah orientasi. Jejak adalah sebuah gerak bolak-balik menuju masa lalu dan masa depan. Orang ‘mencari jejak’, karena ingin mengetahui peristiwa masa lalu. Akan tetapi, orang juga ‘mengikuti jejak’ untuk meramalkan masa depan. Jejak selalu mengarahkan matanya ke arah multiplisitas waktu. Jejak selalu bersifat multidimensi.Jejak adalah sebuah argumen, sebuah narasi, sebuah bahasa, sebuah cerita, sebuah ‘teks’. Jejak ‘dibaca’, ‘dianalisis’, ‘dikaji’, ‘ditranslasi’, ‘ditafsirkan’. Jejak dilindungi karena ia mengandung pengetahuan dan informasi. Jejak dianalisis secara ‘ilmiah’, karena ia dianggap sebuah jalan menuju ‘kebenaran’ (truth). Jejak adalah ‘juru bicara’ kebenaran.Sebab tak semua jejak menggiring pada factum, realitas, kebenaran. Jejak malah sering meninggalkan enigma, teka-teki, ketakpastian, kekaburan, kabut, kegelapan. Jejak ada, tetapi kebenarannya disembunyikan. Tanda ada, tetapi maknanya dipalsukan. Bekas ada, tetapi realitasnya dikaburkan. Yang kita temukan adalah serangkaian jejak tanpa makna, tanda tanpa kebenaran, bekas tanpa tindakan.

Jacques Derrida, di dalam Positions (1987), mengatakan bahwa jejak tak pernah menuju pada sebuah ‘kebenaran akhir’. Jejak hanya menunjuk pada jejak lain—jejak dari jejak—bukan pada kebenaran. Jejak bukan latar, fondasi atau asal usul. Jejak adalah proses pergerakan tanpa akhir. Jejak mengarahkan pada jejak lain, tanda menggiring kita pada tanda lain, bekas membawa pada bekas lain ad infinitum.Akan tetapi, ada jejak yang ‘terlepas’, ‘melepaskan diri’ atau ‘sengaja dilepaskan’ dari tindakan. Tindakan tak lagi meninggalkan jejak. Jejak dihapus setelah tindakan. Jejak ‘mengingkari’ pemiliknya. Melalui jejak palsu, sejarah dipalsukan, kebenaran disembunyikan, pikiran dikaburkan. Jejak mengarahkan pada kegelapan.

Jean Baudrillard, di dalam The Perfect Crime (1996), melukiskan tindakan yang tanpa jejak. Ada tindakan, tak ada jejak. Ada peristiwa, tak ada tanda. Ada kejadian, tak ada bekas. Inilah ‘tindak’ atau ‘kejahatan sempurna’. Ada kejahatan, tak ada korban, tak ada motif, tak ada bukti. Tindakan terputus dari jejak, tanda dan bekas. Jejak bersembunyi di balik tindakan, tanda melebur ke dalam realitas, bekas mencair ke dalam peristiwa.

    Jejak kini digunakan untuk memalsukan kebenaran. Inilah ‘jejak artifisial’, ‘jejak palsu’, ‘jejak buatan’. Jejak kini diproduksi sebagai ‘simulakra jejak’ (simulacra of trace). Inilah jejak yang berpretensi seakan-akan ia ‘refleksi’ realitas, padahal pemalsuan realitas. Jejak kini bukan lagi ‘bukti’ tindakan (suap, penyelewengan, pembunuhan), tetapi bukti tak adanya tindakan. Inilah simulakra barang bukti, berkas, dokumen, rekaman.

Tak hanya ada ‘simulakra jejak’, malah lebih parah lagi, kini ada ‘simulakra tindakan’ (simulacra of action). ‘Tindakan’ (penyuapan, penyelewengan, pembunuhan) dikonstruksi secara artifisial, seakan-akan ia adalah ‘tindakan nyata’ (real action), padahal palsu, gadungan dan artifisial. Tindakan penyuapan itu tak ada, tetapi ditampilkan seakan-akan ada, melalui ‘simulakra’ barang bukti, jejak dan dokumen. Ada jejak, tetapi sesungguhnya tindakannya tak ada.

Ketika jejak diputus dari realitas, ketika jejak menjadi ‘simulakra jejak’, ketika tindakan menjadi ‘simulakra tindakan’, kebenaran ikut melebur menjadi ‘simulakra kebenaran’ (simulacra of truth). Kita lalu dibawa pada contradictio in terminis: sebuah pernyataan yang di titik akhir menyanggah dirinya sendiri. Sebuah kebenaran yang palsu, sebuah kepalsuan yang benar, sebuah kebenaran yang tak-benar, sebuah kepalsuan yang asli, sebuah keaslian yang palsu—sebuah ‘nihilisme’.

    Tak ada lagi yang tersisa dalam kehidupan, bila tak ada lagi ‘jejak sejati’, ‘realitas sejati’ dan ‘kebenaran sejati’ (genuine truth). Hidup yang dikepung kepalsuan akan menjadi bagian dari kepalsuan itu. Tubuh bangsa ini telah kehilangan segala sifat ‘kesejatian’, ketika menciptakan jejak, tindakan, dan kebenaran palsu menjadi hobi, kebiasaan, sarapan pagi, waktu senggang, trend setiap orang. Kepalsuan tanpa beban, manipulasi tanpa rasa bersalah, kebohongan tanpa rasa malu.

Bagaimana jejak melihat masa depan ? ……..

“Kepalsuan adalah masa depan kebenaran”

“Kepalsuan adalah mimpi buruk masa kini, segeralah bangun pagi dengan “realitas sejati” dalam kehidupan yang tersisa”

Sabtu, 12 November 2011

Tugu Khatulistiwa

 Tugu Khatulistiwa-Pontianak-Kalimantan Barat

Tugu ini yang terletak persis di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Tiap tanggal 21 -23 Maret dan 21-23 September pukul 12.00 WIB, bayangan benda di sekitar tugu ini akan menghilang. Saat itulah diperingati sebagai hari kulminasi matahari. Karena saat itu, di tempat ini matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Namun, ada hal lain yang kerap menjadi misteri. Yaitu soal penunggu gaib tugu yang dibangun tahun 1928 ini.

Tiap 21 -23 Maret dan 21-23 September, Tugu Khatulistiwa Pontianak menjadi primadona. Ketika itulah di kompleks ini sering digelar beragam pertunjukan kesenian, pameran dan lain-lain hiburan. Tak pelak, massa pun tersedot ke tempat ini. Dari penjuru daerah berdatangan ke sekitar tugu. Namun, yang paling istimewa sebenarnya bukan hanya itu. Melainkan tepat tengah hari pada tanggal tersebut, segala bayangan benda tegak yang ada di sekitarnya, akan menghilang secara misterius. Ini tentu tidak akan pernah terjadi di tempat lain.
Peneliti Belanda

Masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat umumnya, cukup bangga dengan keistimewaan ini. Itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari, seperti banyaknya cendera mata miniatur Tugu Khatulistiwa, penginapan dan jalan yang menggunakan nama Khatulistiwa atau Ekuator. Termasuk unsur Garis Khatulistiwa dimasukkan ke dalam lambang Pemerintah Daerah. Garis Khatulistiwa yang melingkari tengah-tengah bumi, sebenarnya melewati beberapa propinsi di Indonesia dan beberapa negara lain. Untuk Kalbar, garis khatulistiwa melewati beberapa daerah seperti kota/kabupaten Pontianak, Sanggau dan Sintang.

Di Kalbar, Garis Khatulistiwa memotong Sungai Kapuas sebanyak 2 kali, dan satu kali memotong Sungai Melawi. Panjang Garis Khatulistiwa yang melintasi daratan Kalbar adalah 466 km. Selain itu, ada 7 propinsi lain yang dilewati Garis Khatulistiwa yaitu Propinsi Sumatera Barat (Utara Payakumbuh), Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Irian Jaya. Selain itu ada 5 negara Afrika yang dilewati Garis Khatulistiwa yaitu Gabon, Zaire, Uganda, Kenya dan Somalia. Untuk Amerika Latin ada 4 negara yaitu Equador, Peru, Kolombia dan Brasil yang terkenal dengan hutan amazonnya.

Karena letaknya tepat di tengah belahan bumi utara dan selatan, maka wilayah yang berada di sepanjang Garis Khatulistiwa punyai keistimewaan yang tidak ternilai harganya. Seperti curah hujan yang tinggi, suhu dan kelembaban rata-rata harian cukup tinggi, terdapat berbagai jenis hewan dan tumbuhan dan sinar matahari yang bersinar sepanjang masa. Semua ini menyebabkan adanya iklim tropis, yang merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri bersama.

Tugu Khatulistiwa Pontianak ditemukan tahun 1928. Berdasarkan catatan V. en. W oleh Opzihter Wiese tahun 1941, pada tahun 1928 telah datang suatu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis equator di Pontianak. Kala itu yang dibangun berupa tonggak yang bagian atas diberi tanda panah. Tahun 1930, disempurnakan berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah. Tahun 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Silaban. Pada tahun 1990, kembali Tugu Khatulistiwa direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang asli.

Bangunan tugu terdiri dari empat buah tonggak belian, masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter. Diameter lingkaran yang bertulisan EVENAAR 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter. Tulisan plat di bawah anak panah tertera 109o 20' OLvGr menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.

Peta Indonesia Abad 17

 Peta Indonesia Abad 17 - L'India 

Peta kuno yang dibuat dengan cara Copper Engraving (cetakan diatas plat cetak tembaga). Masih bernama L'India, belum bernama Nederlandsch Indie. Sudah berwarna agak kekuningan / kecoklatan, karena sudah sangat antik / kuno. Bagian belakang: blank / kosong. Ukuran: 20 cm x 20 cm. Peta kuno Indonesia yang berasal dari masa th. 1700 an adalah sangat langka. 

Biografi Bung Tomo




Sutomo atau di kenal dengan panggilan Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukuhan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau adalah tokoh populer pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan, mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.


Biodata Bung Tomo
Nama Sutomo
Nama Panggilan Bung Tomo
Tanggal lahir 03 Oktober 1920
Tempat Lahir Surabaya Jawa Timur
Meninggal Padang Arafah, Arab Saudi
Pendidikan
MULO
HBS
Gelar Pahlawan Pahlawan Nasional sejak 2 November 2008
Organisasi dan karir
  • KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia)
  • Gerakan Rakyat Baru
  • Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956
  • anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia
Sutomo dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Pendidikan menjadi hal penting yang harus diperoleh Sutomo dan keluarganya. Sutomo berkepribadian ulet, pekerja keras, daya juangnya sangat tinggi. Di Usia mudanya Sutomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Ia juga bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944 ia anggota Gerakan Rakyat Baru . Sejak kedatangan sekutu dan pasukan NICA di Surabaya, Bung Tomo berjuang mati-matian mempertahankan Surabaya dari cengkeraman Sekutu dan NICA. Bung Tomo memiliki pengaruh kuat di kalangan pemuda dan para pejuang. Ia dengan lantang membakar semangat pejuang untuk bertempur habis-habisan melawan pasukan sekutu. Pertempuran tersebut dipicu oleh tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan pejuang. Meskipun kekuatan pejuang tidak seimbang dengan kekuatan pasukan sekutu, namun peristiwa pertempuran 10 November tercatat sebagai peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia

Sekitar tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Ia sempat menjadi Menteri negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 pada kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga pernah menjadi anggota DPR 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia. Pada masa pemerintahan orde Baru, Bung Tomo banyak mengkritik kebijakan Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng. Akibatnya tanggal 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Padahal jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Satu tahun setelah di tahan Bung Tomo kemudian di bebaskan dan tidak banyak aktif dalam kehidupan politik.Bung Tomo dikenal sebagai muslim yang taat beribadah. Beliaupun wafat ketika menunaikan ibadah Haji di padang Arafah Makkah tanggal 7 Oktober 1981.Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
 
Sumber : http://www.biografitokohdunia.com/2011/02/biografi-bung-tomo.html

Prinsip-prinsip dasar dalam penelitian Sejarah Lisan

Penelitian sejarah lisan membutuhkan suatu metode pengumpulan data atau bahan penulisan sejarah yang dilakukan oleh peneliti sejarah melalui wawancara secara lisan terhadap pelaku atau saksi peristiwa. Metode ini sudah dipergunakan sejak masa lalu yang semula dipergunakan di Amerika Serikat.

Langkah yang harus ditempuh bagi penelitian sejarah lisan adalah menemukan sumber pendukung yang berasal dari para pelaku atau saksi-saksi langsung serta tempat terjadinya peristiwa untuk mencari latar belakang dan pemahaman akibat dari peristiwa yang ditimbulkan sehingga akan mendekati kebenaran seperti yang diharapkan.

Oleh karena itu, untuk melakukan penelitian sejarah lisan perlu adanya sumber dari para pelaku maupun para saksi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap pelaku atau saksi peristiwa. Namun, terkadang keterangan para pelaku bersifat subjektif sehingga perlu dilakukan penyeleksian atau analisis secara cermat (misalnya, yang menguntungkan pelaku dikatakan, sedangkan yang dianggap negatif atau merugikan pelaku disembunyikan). Kritik terhadap sumber lisan adalah dengan melakukan cross check atau mengecek dengan sumber lisan lainnya.

Berikut teknik-teknik pengumpulan data sumber lisan.
1. Sumber berita dari pelaku sejarah
Pelaku merupakan unsur utama yang berperan dalam peristiwa sebab para pelaku tahu persis latar belakang peristiwa tersebut, apa yang terjadi, sasaran dan tujuannya, serta mengapa terjadi dan siapa saja pelakunya. Metode wawancara kepada pelaku merupakan metode yang paling tepat untuk mengungkapkan dan memaparkan suatu peristiwa.

Ada beberapa cara dalam pengumpulan informasi lisan melalui teknik wawancara, yaitu adanya seleksi individu untuk diwawancarai guna memperoleh informasi yang akurat (maksudnya kedudukan orang tersebut dalam suatu peristiwa, sebagai pelaku utama, informan, atau saksi), harus ada pendekatan kepada orang yang diwawancarai, mengembangkan suasana lancar dalam wawancara dengan pertanyaan yang jelas, tidak berbelit dan menghindari pertanyaan yang menyinggung perasaan. Persiapkan pokok-pokok masalah yang akan ditanyakan dengan sebaik-baiknya agar memperoleh data yang lengkap dan akurat.

Wawancara langsung dapat dilakukan dengan metode-metode berikut.
a. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan acak dan jawaban tidak ditentukan (pertanyaan terbuka).
b. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan dengan jawaban yang telah ditentukan (pertanyaan tertutup).
c. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih dahulu baru kemudian responden menjawab satu per satu.
d. Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan suatu pertanyaan, kemudian responden langsung menjawabnya. Setelah selesai, pewawancara mengajukan pertanyaan selanjutnya.
e. Wawancara dilakukan dengan menggunakan tape recorder yang dapat menyimpan kesaksian pelaku atau saksi lisan tersebut.

2. Sumber berita dari saksi sejarah
Orang yang pernah melihat atau menyaksikan suatu peristiwa, tetapi bukan pelaku, disebut saksi. Berita juga sering disampaikan oleh para saksi peristiwa, dapat berupa berita kebenaran, berita sepihak, atau hanya sekadar berita dari suatu peristiwa. Para saksi juga tidak melihat secara utuh dan detail suatu peristiwa sebab ia hanya sekadar mengetahui suatu peristiwa, itu saja tidak seluruhnya. Oleh karena itu, keterangan dari para saksi perlu didukung oleh data lain yang memperkuat bukti peristiwa sejarah.

3. Sumber berita dari tempat kejadian peristiwa sejarah
Masalah tempat sering mempunyai kaitan dalam sebuah peristiwa, misalnya, peristiwa Rengasdengklok, penyusunan teks proklamasi, dan tempat proklamasi. Tempat tersebut menjadi saksi sejarah yang mampu menjadi sumber lisan.
#dari berbagai sumber .

Sumber , Bukti dan Fakta Sejarah

1. Sumber sejarah
Sejarah dimulai dari cerita-cerita rakyat atau legenda yang mampu mengungkapkan peristiwa pada masa lampau, walaupun penuh dengan berbagai mitos yang harus diteliti lebih lanjut agar dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Masyarakat dahulu memang memberikan informasi sejarah secara turun temurun dan mereka menganggap benar apa yang telah mereka terima dari nenek moyangnya yang terpancar dari peninggalanpeninggalan di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa sumber yang memadai, artinya sumber yang mendukung sehingga mampu mendekati kebenaran suatu peristiwa sejarah.

Sumber sejarah adalah semua yang menjadi pokok sejarah. Menurut Moh. Ali, yang dimaksud sumber sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah sejak zaman purba sampai sekarang. Sementara Muh. Yamin mengatakan bahwa sumber sejarah adalah kumpulan benda kebudayaan untuk membuktikan sejarah.

Menentukan usia peninggalan sejarah dapat dilakukan dengan tiga cara berikut.
1. Tipologi merupakan cara penentuan usia peninggalan budaya berdasarkan bentuk tipe dari peninggalan itu. Makin sederhana bentuk peninggalan, makin tua usia benda. Namun dengan cara ini seringkali timbul masalah sebab benda yang sederhana belum tentu dibuat lebih dahulu dari benda yang lebih halus dan sempurna buatannya. Contohnya, benda dari tanah liat pada saat ini dipakai bersama-sama dengan benda dari logam dan plastik.
2. Stratigrafi adalah cara penentuan umur suatu benda peninggalan berdasarkan lapisan tanah di mana benda itu berasal/ditemukan. Semakin ke bawah lapisan tanah tempat penemuan benda peninggalan budaya, semakin tua usianya sehingga dapat disimpulkan bahwa lapisan paling atas adalah paling muda.
3. Kimiawi adalah suatu cara penentuan umur benda peninggalan berdasarkan unsur kimia yang dikandung oleh benda itu, misalnya, unsur C-14 (Carbon 14) atau unsur Argon.

Ada tiga macam sumber sejarah.
a. Sumber tertulis
Sumber tertulis adalah sumber sejarah yang diperoleh melalui peninggalanpeninggalan tertulis, catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau, misalnya prasasti, dokumen, naskah, piagam, babad, surat kabar, tambo (catatan tahunan dari Cina), dan rekaman. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer (dokumen) dan sumber sekunder (buku perpustakaan).

b. Sumber lisan
Sumber lisan adalah keterangan langsung dari para pelaku atau saksi mata dari peristiwa yang terjadi di masa lampau. Misalnya, seorang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang pernah ikut Serangan Umum menceritakan peristiwa yang dialami kepada orang lain, apa yang dialami dan dilihat serta yang dilakukannya merupakan penuturan lisan (sumber lisan) yang dapat dipakai untuk bahan penelitian sejarah. Dapat juga berupa penuturan masyarakat di sekitar kota Yogyakarta saat 1 Maret 1949 yang ikut menyaksikan Serangan Umum tersebut, penuturannya juga dapat dikategorikan sebagai sumber lisan. Jika sumber lisan berupa cerita rakyat (folklore), maka perlu dicermati kebenarannya sebab penuh dengan berbagai mitos.

c. Sumber benda
Sumber benda adalah sumber sejarah yang diperoleh dari peninggalan bendabenda kebudayaan, misalnya, alat-alat atau benda budaya, seperti kapak, gerabah, perhiasan, manik-manik, candi, dan patung. Sumber-sumber sejarah tersebut belum tentu seluruhnya dapat menginformasikan kebenaran secara pasti. Oleh karena itu, sumber sejarah tersebut perlu diteliti, dikaji, dianalisis, dan ditafsirkan dengan cermat oleh para ahli. Untuk mengungkap sumber-sumber sejarah di atas diperlukan berbagai ilmu bantu, seperti:
1) epigrafi, yaitu ilmu yang mempelajari tulisan kuno atau prasasti;
2) arkeologi, yaitu ilmu yang mempelajari benda/peninggalan kuno;
3) ikonografi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang patung;
4) nomismatik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang mata uang;
5) ceramologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang keramik;
6) geologi, yaitu ilmu yang mempelajari lapisan bumi;
7) antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal-usul kejadian serta perkembangan makhluk manusia dan kebudayaannya;
8) paleontologi, yaitu ilmu yang mempelajari sisa makhluk hidup yang sudah membatu;
9) paleoantropologi, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk manusia yang paling sederhana hingga sekarang;
10) sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sifat keadaan dan pertumbuhan masyarakat;
11) filologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis.

2. Bukti dan fakta sejarah
Sejarah suatu masyarakat dan bangsa di masa lampau dapat diketahui melalui penemuan bukti atau fakta (kata fakta berasal dari bahasa Latin, factus atau facerel, yang artinya selesai atau mengerjakan). Fakta menunjukkan terjadinya suatu peristiwa di masa lampau.

Bukti peninggalan sejarah merupakan sumber penulisan sejarah. Fakta adalah hasil dari seleksi data yang terpilih. Fakta sejarah ada yang berbentuk benda konkret, misalnya, candi, patung, perkakas yang sering disebut artefak. Fakta yang berdimensi sosial disebut sociofact, yaitu berupa jaringan interaksi antarmanusia, sedangkan fakta yang bersifat abstrak berupa keyakinan dan kepercayaan disebut mentifact. Bukti dan fakta sejarah dapat diketahui melalui sumber primer dan sumber sekunder.
a. Artefak
Artefak adalah semua benda baik secara keseluruhan atau sebagian hasil garapan tangan manusia, contohnya, candi, patung, dan perkakas. Peralatanperalatan yang dihasilkannya dapat menggambarkan tingkat kehidupan masyarakat pada saat itu (sudah memiliki akal dan budaya yang cukup tinggi), bahkan dapat juga meggambarkan suasana alam, pikiran, status sosial, dan kepercayaan para penciptanya dari suatu masyarakat, hal inilah yang perlu dicermati oleh para sejarawan.

b. Fakta sosial
Fakta sosial adalah fakta sejarah yang berdimensi sosial, yakni kondisi yang mampu menggambarkan tentang keadaan sosial, suasana zaman dan sistem kemasyarakatan, misalnya interaksi (hubungan) antarmanusia, contoh pakaian adat, atau pakaian kebesaran raja. Jadi fakta sosial berkenaan dengan kehidupan suatu masyarakat, kelompok masyarakat atau suatu negara yang menumbuhkan hubungan  sosial yang harmonis serta komunikasi sosial yang terjaga baik. Fakta sosial sebagai bukti sosial yang muncul di lingkungan masyarakat mampu memunculkan suatu peristiwa atau kejadian. Masyarakat pembuat logam memunculkan ciri sosial yang maju, berintegritas, dan mengenal teknik. Di balik itu mereka memiliki tradisi animisme atau dinamisme melalui benda hasil garapannya, bahkan jika kita teliti dengan saksama masyarakat tersebut sudah mengenal persawahan dan hidup dengan ciri gotong royong.

c. Fakta mental
Fakta mental adalah kondisi yang dapat menggambarkan suasana pikiran, perasaan batin, kerohanian dan sikap yang mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta mental bertalian dengan perilaku, ataupun tindakan moral manusia yang mampu menentukan baik buruknya kehidupan manusia, masyarakat, dan negara. Peristiwa yang terjadi pada masa lampau dapat memengaruhi mental kehidupan pada masa kini bahkan ke masa depan. Fakta mental erat hubungannya antara peristiwa yang terjadi dengan batin manusia, sebab perkembangan batin pada suatu masyarakat dapat mencetuskan munculnya suatu peristiwa (ingat peristiwa bom atom di kota Nagasaki dan Hirosima di Jepang yang menyisakan perubahan watak dan rasa takut, itu sebabnya Jepang memelopori kampanye anti bom atom).

Fakta mental merupakan fakta yang sifatnya abstrak atau kondisi yang menggambarkan alam pikiran, kepercayaan atau sikap, misalnya kepercayaan keyakinan dan kepercayaan benda yang melambangkan nenek moyang dan benda upacara, contohnya nekara perunggu di Pejeng (Bali), untuk dipuja. Namun ada artefak yang juga menunjukkan fakta sosial dan ciri fakta mental, contoh kapak perunggu atau bejana perunggu adalah artefak yang merupakan fakta konkret, tetapi jika dilihat dari hiasannya dapat berfungsi sebagai fakta sosial, dan jika menempatkan kapak perunggu dan bejana perunggu sebagai sistem kepercayaan maka disebut fakta mental.
#dikutip dari berbagai sumber 

Kamis, 10 November 2011

Pengenalan Program Studi Sejarah

Panitia PPS Sejarah 2011 - berkumpul di halaman saat upacara pembukaan PPS Sejarah 2011 

Peserta PPS Sejarah 2011 - Mahasiswa Baru Sejarah


Peserta PPS Sejarah 2011 - Mahasiswa Baru Sejarah

Di dalam ruangan - tampak peserta PPS Sejarah mengikuti kegiatan

 Di dalam ruangan - tampak peserta PPS Sejarah mengikuti kegiatan

 Berbagi Hadiah dalam Kegiatan PPS Sejarah 2011

  Berbagi Hadiah dalam Kegiatan PPS Sejarah 2011

Jumat, 28 Oktober 2011

SOEMPAH PEMOEDA




SOEMPAH PEMOEDA
Pertama : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari : 
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI) 
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) 
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond) 
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) 
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond) Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III : Senduk (Jong Celebes) Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon) Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi) 
Peserta : Abdul Muthalib Sangadji,  Purnama Wulan ,  Abdul Rachman ,  Raden Soeharto  ,  Abu Hanifah, Raden Soekamso ,  Adnan Kapau Gani , Ramelan ,  Amir (Dienaren van Indie) , Saerun (Keng Po) , Anta Permana ,  Sahardjo , Anwari , Sarbini , Arnold Manonutu,  Sarmidi Mangunsarkoro , Assaat ,  Sartono , Bahder Djohan,  S.M. Kartosoewirjo , Dali,  Setiawan , Darsa , Sigit (Indonesische Studieclub),  Dien Pantouw , Siti Sundari ,  Djuanda,  Sjahpuddin Latif , Dr.Pijper , Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken) , Emma Puradiredja , Soejono Djoenoed Poeponegoro ,  Halim  , R.M. Djoko Marsaid,  Hamami ,  Soekamto , Jo Tumbuhan , Soekmono,  Joesoepadi , Soekowati (Volksraad),  Jos Masdani ,  Soemanang ,Kadir,  Soemarto,  Karto Menggolo , Soenario (PAPI & INPO),  Kasman Singodimedjo , Soerjadi Koentjoro Poerbopranoto,  Soewadji Prawirohardjo,  Martakusuma , Soewirjo ,  Masmoen Rasid , Soeworo , Mohammad Ali Hanafiah , Suhara , Mohammad Nazif , Sujono (Volksraad) Mohammad Roem , Sulaeman,  Mohammad Tabrani , Suwarni,  Mohammad Tamzil ,  Tjahija,  Muhidin (Pasundan),  Van der Plaas (Pemerintah Belanda),  Mukarno ,  Wilopo , Muwardi , Wage Rudolf Soepratman , Nona Tumbel 


Catatan : Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya" gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. 

Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang yaitu : a. Kwee Thiam Hong b. Oey Kay Siang c. John Lauw Tjoan Hok d. Tjio Djien kwie 

disadur dengan sedikit penggubahan dari : http://sumpahpemuda.org/

Minggu, 14 Agustus 2011

Kerajaan Sintang

Masa Kerajaan Sintang Hindu

Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.

Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putri, Dayang Lengkong.

Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kerajaan Sintang Hindu berikutnya, yaitu: Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Hasan, Demang Irawan (Jubair Irawan I) dan Dara Juanti.

Pada abad ke-XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan I) memindahkan pusat kerajaan ke Senentang, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Nama Senentang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senentang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demong Irawan. Pada masa ini, wilayah Kerajaan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.

Setelah Demong Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Legender yang berasal dari kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kerajaan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Setelah Dara Juanti mengundurkan diri kerajaan Sintang mengalami kemunduran,tidak terdengar lagi seolah-olah kerajaan Sintang sudah tidak ada lagi. Baru beratus-ratus tahun kemudian muncul Abang Samad sebagai raja dari keturunan Dara Juanti.

Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Kemudian Abang Pencin yang bergelar Pangeran Agung. Abang Pencin merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Pencin dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.


Masa Kesultanan Sintang Islam


Setelah Abang Pencin meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangku Negara Melik.
Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Mangku Negara Melik dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:


1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam
2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan
3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal
4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah
5. Dibangunnnya istana kesultanan

Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.

Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai atau Sultan Aman,karena semasa beliau berkuasa rakyat aman sentosa tak pernah terjadi kekacauan.

Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrosyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrosyid dengan gelar Sultan Abdurrosyid Muhammad Jamaluddin. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai Mangkubumi.

Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Noh dengan gelar Pangeran Ratu Adi noh Muhammad Qomaruddin. Pada masa pemerintahan Adi Noh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.

Pada bulan November tahun yang sama, Pangeran Ratu Adi Noh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.

Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.

Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Abang Ismail dengan gelar Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Panembahan Gusti Abdul Majid Kesuma Negara III. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Bogor oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi.

Menghadapi kevakuman pejabat Sintang maka Pemerintah Belanda menunjuk Ade Muhammad Djoen putera Pangeran Temenggung Agama G.M Isya sebagai Wakil Panembahan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.

Pada tahun 1934 Ade Muhammad Djoen meninggal dunia. Hasil musyawarah keluarga raja-raja Sintang dengan wakil pemerintah Belanda menetapkan putera Gusti Abdul Majid,Raden Abdulbachri Danu Perdana sebagai Panembahan Kerajaan Sintang. Pada masa beliau lah berhasil dibangun Masjid Jami Sultan Nata dan Istana al Mukaramah. Pada tahun 1944 Panembahan Sintang bersaudara dan para bangsawan terpelajar serta tokoh-tokoh masyarakat ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke pontianak. Selanjutnya dibunuh secara massal di Mandor.

Kemudian pemerintah Jepang mengangkat Raden Muhammad Chalidi Tsafiudin. Karena pada waktu itu raja masih berusia 6 tahun,maka untuk memangku jabatan raja diangkatlah Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Sintang. Namun pada tahun 1946 Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan,karena terbukti terlibat dalam gerakan Merah Putih di Nanga Pinoh tanggal 15 November 1946 yang dinilai gerakan ini melawan pemerintah Belanda yang akan memerintah kembali di daerah Sintang. Sebagai penggantinya diangkatlah Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang.

Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang. Setelah Reformasi Sri Sultan Kusuma Negara V bergelar Pengeran Ratu Sri Negara Raden Ichsani Perdana Tsafiudin,putra dari Panembahan Raden Abdulbahri Danu Perdana dikukuhkan sebagai Sultan Kraton Al Mukaramah Sintang.


sumber : http://1001sintang.com/index.php/sejarah-a-budaya

Muhammad Alianyang

Ali Anyang merupakan salah seorang tokoh pejuang Kalimantan Barat. Ia dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1920 di desa Nanga Menantak, Ambalau daerah Sintang Kalimantan Barat. Ayahnya bernama Lakak dan ibunya bernama Liang, keduanya keturunan suku Dayak di daerah Sintang. Dalam keluarganya, Ali Anyang merupakan anak yang kelima dari tujuh orang bersaudara.
Pada saat berumur 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Ayah angkatnya kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orangtua angkatnya. Dalam pendidikannya, ia pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Setelah tamat dari Sekolah Juru Rawat, ia kembali ke Pontianak dan bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Sebagai seorang pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang dalam usaha membela kemerdekaan tanah airnya. Setelah mendengar berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh pemuda di Pontianak termasuk dirinya segera membentuk suatu badan bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalimantan Barat.
Sebagai anggota PPRI, ia berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak yang akan dilakukan oleh orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada tanggal 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan. Orang-orang Cina yang tergabung dalam PKO bermaksud menguasai sistem pemerintahan di Kalimantan Barat khususnya di Pontianak. Namun rencana PKO yang meresahkan masyarakat tersebut dapat dicegah oleh PPRI dengan melakukan penyergapan dan perlawanan terhadap anggota PKO. Pada tanggal 3–4 September 1945 terjadi pertempuran antara PPRI yang didukung oleh masyarakat pribumi menghadapi anggota PKO di sekitar kota Pontianak. Bentrokan tersebut mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak. Mengetahui banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dokter Soedarso sebagai ketua PPRI menginstruksikan Ali Anyang dan kawan-kawannya untuk segera menghentikan pertempuran. Setelah pertempuran berhenti, anggota PKO melarikan diri ke luar kota Pontianak karena segan menghadapi perlawanan dari PPRI dan masyarakat yang akan menghalangi maksud dan tujuan gerakan mereka.
Pada tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) untuk mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung beberapa lama saja dan setelah itu kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda pada pertengahan bulan Oktober 1945. Sejak saat itu Belanda mulai berkuasa di Kalimantan Barat dengan Residennya bernama Van Der Zwaal.
Kedatangan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Kalimantan Barat mendapat tentangan dari masyarakat di Kalimantan Barat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, perlawanan terhadap Belanda dilakukan oleh Ali Anyang bersama pemuda pejuang lainnya dengan menyerbu tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur di tempat. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahankan di penjara Sei Jawi Pontianak.
Pada pertengahan bulan Februari 1946, Ali Anyang keluar dari penjara Sei Jawi. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai ketua Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) memerintahkan Ali Anyang untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pemuda pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah karena di kota Pontianak pada saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan. Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi menuju ke wilayah Pantai Utara Kalimantan Barat, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Setelah tiba di Singkawang, ia ditetapkan menjadi Komandan Pemberontakan di Kalimantan Barat oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang ada di Singkawang. Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada dan mengumpulkannya di Bengkayang.

Pada tanggal 1 April 1946, terbentuk sebuah organisasi yang bernama Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang dengan Ali Anyang sebagai komandannya. Pada tanggal 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana melakukan penyerbuan terhadap pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang melakukan parade kemiliteran dalam rangka peringatan hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal dilakukan karena pasukan Belanda melakukan penjagaan dengan ketat.
Pada tanggal 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai kota Bengkayang dan menaikkan bendera merah putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Namun penguasaan kota Bengkayang tidak berlangsung lama karena pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang ke Bengkayang dan menggempur pasukan Ali Anyang. Pada tanggal 9 Oktober 1946, pasukan Belanda dapat merebut kembali kota Bengkayang dari tangan pejuang RI. Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai penggerak penyerbuan kota Bengkayang. Dalam usaha mencari Ali Anyang, Belanda memberi hadiah uang sebanyak 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang.
Walaupun Ali Anyang dan pejuang lainnya dikejar-kejar oleh Belanda, namun mereka masih melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada tanggal 10 Januari 1949 oleh Ali Anyang dan pasukannya. Karena terdesak maka Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Ali Anyang hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, diantaranya bentrokan senjata pada tanggal 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan tanggal 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan.
Akhirnya pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda berhenti setelah pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Hal ini disambut rakyat Kalimantan Barat dengan penuh rasa suka cita dan disertai pekikan ”merdeka, merdeka, dan merdeka”. Setelah pengakuan kedaulatan ini, ia memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.
Setelah masa perang kemerdekaan selesai, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajar yang berasal dari Sambas. Setelah menikah, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat tinggal karena tugasnya sebagai seorang perawat. Di antaranya ia pernah tinggal di Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalimantan Barat. Dari pernikahannya dengan Siti Hajir, ia dikaruniai delapan orang anak. Kedelapan orang anaknya itu adalah Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati.
Ali Anyang pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Namun, sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua DPRD II Kabupaten Sambas, pada tanggal 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang Kabupaten Sambas.
Sikap dan perjuangan Ali Anyang sungguh mulia. Jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara begitu besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia rela berjuang dan berkorban bersama teman-temannya melawan Belanda. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa selayaknya meneladani sosok pejuang Ali Anyang dan nilai-nilai kejuangannya.
sumber : http://1001sintang.com/index.php/tokoh/tokoh-sejarah


Ringkasan Kitab Negarakertagama

Kitab Negarakretagama ditulis oleh seorang yang bernama mpu Prapanca. Pada mulanya kitab ini bernama Desawarnana yang berarti uraian tentang desa-desa. Puja sastra Nagarakretagama terdiri dan 98 pupuh. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh itu dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh I sampai pupuh VII menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh VIII sampai XVI menguraikan kota dan wilayah Majapahit. Pupuh XVII sampai XXXIX menguraikan perjalanan keliling ke Lumayang. Pupuh XL sampai XLIX menguraikan silsilah raja Hayam Wuruk. Lima pupuh yang pertama yakni pupuh XL sampai XLIV tentang sejarah raja-raja Singasari, pupuh XLV sampal XLIX tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Tepat pada pupuh itu uraian Dang Acarya Ratnamsa berhenti. Itulah bagian pertama Nagarakretagama, jumlahnya 49 pupuh tepat.
Untuk download selengkapnya gunakan link di bawah ini
himas-stkipptk.blogspot.com

Masuknya Agama Islam di Sintang

Pada pertengahan abad ke – XVII, Kerajaan Sintang di perintah oleh seorang raja yang bernama Abang Pencin bergelar “ Pangeran Agung ”, Baginda Pangeran Agung adalah turunan ke – 17 dari Raja di Kerajaan Sintang yang pertama. Pusat Pemerintahan Kerajaan pada waktu itu terletak di wilayah yang disebut Pulau Perigi, yaitu ditengah kota Sintang dan pada saat sekarang perbatasan antara Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kelurahan Kapuas Kiri Hulu.
Baginda Pangeran Agung beserta sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, serta sebagian lainnya masih menganut faham animisme. Pada masa itu agama hindu telah berkembang dan tersebar dengan pesatnya di Kerajaan Sintang bagaikan cendawan di musim hujan, agama hindu berkembang sejak abad ke – XV yang dibawa dan di kembangkan oleh seorang Patih dari Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
1Begitu sampai ditanah Sintang kedua mubaligh langsung menghadap Baginda Raja Pangeran Agung, mereka berdua menyatakan keinginannya menetap di Kerajaan Sintang jika mendapat izin dari Baginda Raja, Sebagai mubaligh, tutur bahasa yang lemah lembut serta sopan santun dengan penuh rasa rendah hati menyebabkan Baginda Raja Pangeran Agung tertarik, dan atas izin Baginda Raja kedua mubaligh itu bertempat tinggal di rumah seorang Menteri. Dirumah Menteri itu kedua mubaligh tetap melaksanakan ibadah sholat sebagaimana mestinya. Tidak berapa lama sang menteripun tertarik ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua mubaligh tersebut dan pada suatu hari menteri memberanikan diri untuk menanyakan hal ihwal apa yang dikerjakan oleh kedua mubaligh tersebut. Kedua mubaligh itu saling silih berganti menerangkan kepada menteri pokok-pokok ajaran Islam, dan kemudian menteri bersama keluarganya menyatakan dirinya untuk memeluk agama Islam. Karena takut diketahui oleh Baginda Raja, semula menteri dan keluarganya mempelajari agama Islam secara diam-diam, hari demi hari telah dilewati, tapi raja yang selalu memperhatikan dan mengawasi gerak – gerik rakyatnya, akhirnya tahu juga.
2Suatu ketika menteri dan bersama kedua mubaligh itu dipanggil menghadap, dihadapan Baginda Pangeran Agung kedua mubaligh menerangkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, mereka menjelaskan bahwa agama Islam itu bukanlah agama baru bahkan telah dianut oleh jutaan manusia di permukaan bumi. Disatu sisi agama Islam mengajak seluruh manusia agar hanya mengabdi kepada Allah SWT, dan di sisi Islam mengajarkan agar bergaul baik dengan sesama. Kemudian Baginda Pangeran Agung bertanya kepada kedua mubaligh tersebut, apakah anda juga berhasrat mengajak kami kepada Islam ? dengan tegas Mohammad Saman menjawab “ tentu saja, Tuanku “ Bagaimana sikap kalian andaikata kami tidak bersedia ? Tanya Baginda Raja lagi. Kami tetap menghormati Tuanku dan berterima kasih atas kemurahan hati Tuanku menyambut kami sambung Enci’ Shomad.
Baginda Pangeran Agung tersenyum dan langsung menyatakan bahwa dirinya memeluk agam Islam dan Baginda Pangeran Agung langsung mengucap Dua Kalimah Syahadat. Kemudian Baginda Pangeran Agung menambahkan bahwa beliau telah lama mendengar tentang agama Islam tetapi beliau belum sempat mempelajari secara mendalam. Konon baginda ingin menikah dengan putrid raja Sanggau yang sudah memeluk agama Islam, tetapi lamaran Baginda belum mendapat jawaban yang tegas. Dan setelah baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam utusan raja Sanggau datang membawa tanda mata.
3Tidak lama kemudian baginda Pangeran Agung menikah dengan putri dari kerajaan Sanggau yang bernama Dayang Mengkiang. Dengan didorong hasrat untuk memajukan agama baru, Mohammad Saman dan Ecci’ Shomad baginda angkat sebagai warga negeri kerajaan Sintang dan kemudian balai kerajaan dijadikan pusat penyiaran agama Islam. Kedua mubaligh baginda kawinkan dengan keluarga kerajaan sehingga merekapun makin dihormati oleh rakyat.
Setelah tersiar kabar Baginda Pangeran Agung memeluk agama Islam, maka rakyat di kerajaan Sintang yang sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme berduyun – duyun memeluk agama Islam sehingga pemeluk agama Islam mulai berkembang. Setelah cukup lama memangku Jabatan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, Baginda Pangeran Agung berpulang kerahmatullah, kedudukan sebagai Raja di Kerajaan Sintang diganti oleh Putra Mahkota yang bernama Pangeran Tunggal dan Beliau dinobatkan
sebagai Raja di Kerajaan Sintang yang ke XVIII. Kegiatan Baginda Pangeran Tunggal tidak kurang dari ayahndanya sehingga agama Islam semakin berkembang sampai ke pedalaman. Baginda menjalankan Pemerintahan cukup lama dan baginda Pangeran Tunggal yang merencanakan pembangunan Masjid yang pertama dalam kerajaan Sintang. Tetapi mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat di tolak, sebelum rencana terlaksana Baginda Pangeran Tunggal berpulang kerahmatullah.
4Karena Putra almarhum Abang Itot tidak memenuhi syarat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Putra mahkota almarhum yaitu Pangeran Purba tidak berada di negeri Sintang, karena sudah berkali – kali diberitahu tentang keadaan ayahnda semasa masih hidup bahkan sampai Baginda Pangeran Tunggal wafat pun Pangeran purba tidak datang dan pada akhirnya untuk di angkat sebagai Raja di Kerajaan Sintang, diangkatlah keponakan almarhum Baginda Pangeran Tunggal sebagai Raja di Kerajaan Sintang ke XIX, yaitu putra dari Nyai Cili ( adik Pangeran Tunggal ) dan Mangku Negara Melik yang bernama Abang Nata, ketika itu Abang Nata masih berusia 10 tahun. Sementara menunggu dewasa Pemerintahan ditangani oleh seorang Wazir bernama Senopati Laket, Ia menjalankan pemerintahan sampai Raja berusia 20 tahun. Setelah Abang Nata berusia 20 tahun, maka beliaupun dinobatkan sebagai Raja di Kerajaan Sintang, bergelar ‘ Sultan Nata Muhammad Syamsuddin ‘.

http://1001sintang.com/index.php/islam/129-masuknya-agama-islam-di-kerajaan-sintang-

Sabtu, 13 Agustus 2011

PHINISI PERAHU LAYAR KEBANGGAAN INDONESIA

Di dunia internasional, perahu Phinisi baru dikenal sejak 1906 silam. Perahu itu adalah bentuk termodern dari kapal tradisional orang Bugis-Makassar yang telah mengalami proses evolusi panjang. Kapal itu dibuat sebagai perahu layar dengan dua tiang dan tujuh hingga delapan helai layar. Pada umumnya perahu ini berukuran kecil dengan daya muat antara 20 hingga 30 ton dan panjang antara 10 hingga 15 meter. Hampir keseluruhan pembuatan perahu dilakukan dengan teknik-teknik sederhana dan mengunakan tenaga mesin yang sangat minim.
Sekarang Kita flashback ke awal sejarah adanya perahu phinisi



Di ujung selatan pulau Sulawesi, masyarakat setempat membangun sebuah tradisi bahari selama ratusan tahun. Cerita-cerita tentang keperkasaan para pelaut Bugis, Makassar, Mandar, dan Konjo telah menjadi buah bibir hingga ke pelosok negeri nun jauh di seberang lautan. Keindahan dan kekokohan perahunya dalam menghadapi keganasan ombak lautan, telah melahirkan cerita-cerita kepahlawanan yang mengagumkan.


untuk lebih lengkapnya dapat mendownload link di bawah ini :
himas-stkipptk.blogspot.com

Jumat, 29 Juli 2011

RADEN TUMENGGUNG ABDUL KADIR SETIA (PAHLAWAN NASIONAL)

RADEN TUMENGGUNG ABDUL KADIR SETIA (PAHLAWAN NASIONAL)

Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang.
Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda.
Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung.
Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Saka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.
Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia adalah seorang tokoh pemberani. Tokoh pejuang yang mampu menghimpun serta menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Pemikirannya untuk melawan penjajah Belanda menjadi contoh bagi perlawanan rakyat selanjutnya. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan Nasional.

Jumat, 01 Juli 2011

Prasasti II dalam Lensa Kamera


Keraton Tayan 



Gerbang Keraton Tayan



Meriam Peninggalan Keraton Tayan


Tiang Bendera di Halaman Keraton Tayan





Foto bersama di depan Keraton Tayan

Prasasti II Kec.Tayan Hilir 2011 , Berbakti & Mengabdi Pada Masyarakat

Kegiatan ini diselenggarakan oleh himas dalam rangka berbakti & mengabdi pada masyarakat yang pasti harus dilakukan oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa sejarah. Dimana kegiatan ini berlangsung di Kecamatan Tayan Hilir , Sanggau , selama 4 hari bulan mei tahun 2011. Disini mahasiswa dituntut untuk memberikan sedikit ilmunya kepada masyarakat , berkumpul bersama masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Bukan hanya itu mahasiswa juga dituntut untuk mengetahui sejarah lokal dan kebetulan di Tayan Hilir ini terdapat kerajaan dan keraton Tayan. Dan pada kesempatan ini pula tak lupa sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang pendidikan menyempatkan diri berkunjung dan memberikan sedikit ilmunya kepada sekolah-sekolah yang ada di Kec. Tayan Hilir tersebut. Kegiatan ini sungguh bermanfaat terhadap kelangsungan mahasiswa kedepannya. Kegiatan ini telah berhasil dan berjalan sesuai dengan yang diharap
kan.

Kamis, 23 Juni 2011

Sekapur Sirih dari Redaksi

Assalammualaikum , wr, wb.
Hidup Mahasiswa.................!!!
Atas izin Allah SWT , kami tim redaksi dari bagian divisi infokom himas dapat membuat wadah di dunia maya guna menambah jalinan rasa kebersamaan dalam tampuk mahasiswa sejarah. Blog ini dibuat bukan hanya untuk tempat sebagai aksi memamerkan kepandaian namun lebih kepada untuk menjalin rasa persaudaraan dan persatuan antar sesama mahasiswa sejarah , kepada lebih motto kita sebagai generasi penerus bangsa di bidang pendidikan " Sejarah Guruku , Majukan Negeriku "

Mudah-mudahan dengan adanya blog ini , kami selaku redaksi dari divisi infokom himas mengharapkan saran maupun kritikan terhadap kinerja kami karena kami adalah bagian dari kalian semua , Viva Historia !!!

Wassalam,
Redaksi

NB:
aspirasi mahasiswa sejarah dapat disampaikan melalui email yang akan di muat di blog ini lebih lanjutnya himas.infokom@yahoo.com
 atau
melalui FB (himas infokom)