Selasa, 07 Februari 2012

KESULTANAN QADRIAH PONTIANAK




Kesultanan Pontianak (Pontianak Sultanate) merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Nusantara, bahkan di dunia, khususnya termuda di Kalimantan Barat (Kalbar) (Alqadrie, 1979:12). Kesultanan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Melayu, Bugis dan Dayak ini, dan menjadi termuda di dunia, artinya termuda berdirinya dibandingkan dengan kesultanan lain di dunia. Mengapa demikian? Kesultanan ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 bersamaan 12 hari bulan Rajab tahun 1185 (Rahman, dkk., 2000). Ia didirikan relatif lebih akhir dibanding dengan kelahiran kesultanan lainnya tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di kawasan lainnya di Nusantara, karena tidak ada kerajaan atau kesultanan lainnya, selain kesultanan Pontianak, yang berdiri pada periode/tarikh yang sama dengan atau lebih akhir dari/setelah tanggal kelahiran kesultanan Pontianak (Alqadrie, 1979:35). Selain terbungsu, kehidupan pemerintahan kesultanan ini hanya berlangsung relatif singkat, 179 tahun, dan hanya diperintah oleh 8 (delapan) generasi sultan dari dinasti Al-Qadrie, sejak kelahirannya 1771 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Setelah itu, kesultanan ini tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi . Kesultanan termuda ini memiliki keunikan (uniqueness) sebagai warisan sejarah Nusantara, karena walaupun kesultanan ini lahir lebih akhir atau paling bungsu, tetapi ia telah menjadi pemersatu, “unggul” dan memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan bagian barat, diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional -- di Nusantara, seperti Riau, Siak, Tambelan, Siantan, Palembang, Banjar, Paser (Rahman, dkk. 2000: 4; Alqadrie, 1979), Malaka, Johor, dan Trengganu, serta Banten dan Demak (Iskandar, dkk., 1987:58-59,60-62). Keunikan lain terletak pada letak geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan social budaya maupun pertahanan dan keamanan (Hankam). Hal ini dimungkinkan oleh letak dan kedudukannya yang tidak terlalu jauh tidak hanya dari perairan laut dan selat, yaitu Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna -- ketiga jalur transportasi tersebut menghubungkan kesultanan ini masing-masing dengan Batavia, Demak, kesultanan lainnya di utara Jawa, Banjarmasin, Kutai dan Paser; Palembang, Riau; dan Deli (sekarang dikenal dengan Medan), Malaka (sekarang Singapura), dan Johor (sekarang menjadi sebuah kota penting di Malaysia Barat dekat Singapura dan Kuala Lumpur). Letaknya juga tidak terlalu jauh dari kawasan pedalaman yang menghubungkannya dengan kesultanan lain di pedalaman dekat (interior valley) dan perhuluan/ pedalaman jauh (interior upland). Letaknya strategis ini memungkinkan kesultanan ini mampu bertindak sebagai kekuatan pengawas (controlling power) dalam hal pengumpulan/ pemasukan pajak dan pungutan lainnya, di satu fihak, serta penertiban di bidang Hankam, di lain fihak, terhadap penggunaan transportasi lalu lintas perairan di situ untuk tujuan perdagangan maupun kegiatan militer. Selain itu, letak kesultanan Pontianak yang strategis secara interen di kawasan Kalbar sendiri -- pada simpang tiga antara Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak -- letak mana memiliki nilai positif dari segi geopolitis, menyebabkan pendiri kesultanan ini -- Syarif Abdurrahman bin Habib Hussein Alqadrie -- disebut sebagai ahli Maritim (Maritime specialist) (Alqadrie, 1979:9) yang memungkin serangan militer ke jantung kesultanan ini, walaupun melalui dua jalur -- Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak -- dapat dimentahkan. Letak geografis seperti itu memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi geopolitis dan geostrategis baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara di luar kawasan apa yang dikenal sekarang dengan Kalbar, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya kesultanan ini secara implicit sebagai kekuatan hegemonis di kawasan yang disebut sekarang dengan Kalbar. Pengakuan seperti ini lebih diperlancar dari hasil tiga strategi yang dilakukan oleh para Sultan Pontianak terhadap para kesultanan atau panembahan di kawasan ini yaitu: (1) penguasaan, (2) pengembangan ikatan kekeluargaan melalui perkawinan, pengangkatan keluarga/anak, dan (3) peningkatan kewibawaan lewat pendalaman agama pada mana para penguasa dan kerabat Kesultanan Pontianak dianggap memiliki pengetahuan agama Islam lebih mendalam. Menghadapi pertahanan tangguh dari letak geografisnya yang strategis, Kompeni Belanda menggunakan tiga taktik non-militer yaitu (1) taktik penguasaan konvensional tradisional melalui perundingan yang mengikat, (2) taktik adu domba atau pecah belah (devide et impera), dan (3) taktik penguasaan “moderen” melalui pengembangan kawasan di bagian lain dari kawasan kesultanan sebagai kekuatan pesaing (competing power) untuk memperlemah pusat pemerintahan kesultanan. Dengan taktik tersebut, kesultanan ini berangsur-angsur surut dan hampir kehilangan pengaruh dan kontrol terhadap kesultanan lainnya di Kalimantan. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena keunikan Kesultanan Pontianak, pendiri pertama, latar belakang atau asal usul pendiri tersebut, dan 8 (delapan) generasi sultan yang pernah berkuasa dengan karakter masing-masing. Selain itu tulisan ini diharapkan juga dapat menguraikan pengaruh besar dan disusul dengan merosotnya pengaruh tersebut dalam waktu relatif pendek, serta factor-faktor utama penyebab berkembang dan merosotnya pengaruh tersebut, serta pola tingkah laku politik local dan nasional kaitannya dengan kesultanan tersebut. 2. Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak, Asal Usul dan Latar Belakangnya. Kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan Qadriah, karena ia didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie[3]. Kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan-kesultanan lainnya di kawasan Kalbar tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) figur tersebut di atas. 2.1. Habib Syarif Hussein Al-Qadrie. Menurut catatan sejarah (Haji Yahya, 1999: 224; Alqadrie, 1979; Rahman, 2000:13-14; Sahar, 1982:12), Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan di dan berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706. Hussein dibesarkan, dididik orang tuanya secara Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari gurunya Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi, Al-Mukalla, salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari 4 (empat) tahun, sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika. Dari pengalamannya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginannya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekannya satu perguruan yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Haji Yahaya, 1999:224). Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam. Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, menurut Alwi Shahab (2000:7) adalah bahwa mereka datang ke Indonesia tanpa membawa wanita -- kebanyakan mereka perjaka (unmarried men). Sesampai di kawasan Nusantara[4] mereka menikah dengan wanita-wanita setempat, menyebut penduduk setempat (pribumi/bumi putera) sebagai achwal -- saudara dari ibu mereka -- dan mereka berperan di sektor perdagangan, sector lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran agama Islam. Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di Aceh dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. Menurut Haji Yahaya (1999:224) dan Rahman ( 2004: 16) berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya, sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh; Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung dan mendapat gelar Tuan Besar Siak; Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayatnya, diberi gelar Datuk Marang. Sesuai dengan petunjuk gurunya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya. Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC (Rahman, dkk., 2000; Haji Yahaya, 1999:224-225; cari Sejarah Indonesia lainnya). Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid -- pedagang dan perantau Arab lainnya -- yang berada di situ. Selama di Batavia Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal -- seorang pedagang dan ulama yang juga berasal dari Arab -- yang mengajaknya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. Setelah dua tahun berada di Semarang, Habib Hussein masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh gurunya untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya -- kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau. Kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceriterakan oleh Syech Salam kepadanya yaitu Matan, Sukadana -- dua kesultanan Islam yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Ketapang -- dan Mempawah -- sebuah kesultanan Islam tertua di Kalbar dan menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak. Dengan dukungan moril dan material dari dan dihantar oleh Syech Salam Hambal, Hussein Al-Qadrie dalam umur 29 tahun melanjutkan perjalanan ke Matan. Di sini ia diterima penduduk setempat, disenangi oleh murid-muridnya dan mendapat simpati dari keluarga Kerajaan,sehingga Habib Hussein Al-Qadrie diangkat sebagai tokoh penting, yaitu Hakim atau Qadhi dalam peradilan di Kerajaan Matan. Dari perkawinannya dengan Nyai Tua -- puteri Sultan Ma’aziddin[5] -- Habib Hussein Al-Qadrie memperoleh 4 orang putera dan puteri yaitu bernama Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H bertepatan dengan 1739 M. Baru 3 (tiga) tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Matan, kemasyhurannya sebagai ulama dan hakim pengadilan telah tersebar ke Kerajaan Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang berkedudukan di Sebukit[6] yang bernama Pangeran Tua, meminta kepada Sultan Matan dan Habib Hussein agar bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam dan menjadi imam besar di sana (Sahar, 1983:18; Rahman, 2000:25-26). Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh Hussein Al-Qadrie, karena ia belum lama berada di Matan. Setelah berada di Matan selama 17 tahun, akhirnya pada tahun 1755M Habib Hussein baru dapat memenuhi permintaan tersebut, dan pada tahun 1755 ia bersama keluarganya pindah ke Mempawah dan membangun pemukiman baru di Galah Herang[7] dalam kawasan kerajaan itu. 2.2. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie – Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak. Dua tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Mempawah, puteranya, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang berumur 18 tahun, dikawinkan dengan Utin Candramidi, puteri Opu Daeng Manambon dengan Puteri Kusumba. Perkawinan ini tidak saja memperkuat kedudukan Habib Hussein yang diperlukan oleh rakyat dan Kerajaan Mempawah. Itu juga mempererat hubungan tiga kerajaan yaitu Matan, Mempawah dan Luwuk di Sulawesi Selatan, karena Putri utin Cadramidi adalah puteri Opu Daeng Menambon yang berasal dari Kerajaan Luwuk. Perkawinan ini juga dianggap sebagai permulaan yang baik bagi dorongan politik terhadap kelanjutan cita-cita Habib Hussein untuk menemukan pemukiman baru bagi keluarganya dan bagi penyebaran Islam yang diharapkannya dapat direalisasikan oleh putera tertuanya itu. Setelah perkawinannya dengan Utin Candramidi, Abdurrahman bergelar Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Di dalam tubuh Abdurrahman mengalir darah ayahnya (sebagai keturunan Arab, ia memanggil Habib Hussein sebagai aba) sebagai pedagang, perantau, pelayar dan ulama penyebar ajaran Islam, ia juga tidak menyimpang dari apa yang telah dilakukan ayahnya. Abdurrahman muda tumbuh menjadi pedagang muda. Jiwa pedagang dan semangat maritimnya semakin berkembang. Pada tahun 1759 Syarif Abdurrahman mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan dan Negeri Siak, ketika ia berumur sekitar 20 tahun, dan pada tahun 1765 ke Kerajaan Palembang dan Banjarmasin, ketika ia berumur kurang dari 26 tahun. Di Palembang Sultan kerajaan ini -- yang telah mengenal baik ayah dan mertuanya -- memberinya hadiah berupa sebuah perahu, 100 pikul timah dan uang 2.000 ringgit. Pemberian ini merupakan modal awal yang mendorongnya menjadi pedagang, pelayar dan pengelana labih jauh lagi. Setelah ia berada lagi di Mempawah sekitar dua tahun, modal awal tersebut ditingkatkannya lagi berupa penambahan sebuah perahu dan barang modal lainnya. Pada tahun 1767 Syarif Abdurrahman Al-Qadrie meninggalkan Mempawah menuju Kerajaan Banjarmasin dan Paser -- sekarang lebih dikenal dengan Kabupaten Paser dengan ibukotanya Tanah Gerogot -- yang masing-masing terletak di kawasan selatan dan pantai timur Pulau Kalimantan. Kerajaan Banjarmasin adalah kota perdagangan yang sudah lama maju dan lebih berkembang dibanding dengan kota dan kerajaan lainnya di kawasan Kalimantan. Kota kerajaan ini telah menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan sekitarnya. Kerajaan Paser belum begitu berkembang, tetapi memiliki potensi besar dalam hal penyediaan sumberdaya alam, termasuk perkebunan, dan dinamika penduduknya dalam hal religiositas. Karena letak geografisnya tidak begitu jauh dari Banjarmasin pada mana pengaruh sosial budaya kerajaan ini sangat besar terhadap Kerajaan Paser, maka sampai sekarang Islam berkembang pesat hampir di seluruh kawasan Paser, termasuk di kawasan pedalamannya, dan budaya Banjar, termasuk bahasanya, berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di situ. Abdurrahman memperdagangkan rempah-rempah, lada, kain-kain sutera, lenen, dan hasil perkebunan lainnya di sana, dan ia juga berkenalan dengan para pedagang Inggeris, Perancis, Portugis, Belanda dan Cina yang sangat memerlukan barang-barang tersebut untuk dipertukarkan dengan produksi negara mereka. Masyarakat Barat, menurut Wallerstein (1997), memerlukan sumberdaya alam (SDA) dan kerajinan lainnya yang tidak mereka miliki, dan mereka berkompetisi dalam memperolehnya untuk mempertahan status mereka agar tidak terlempar menjadi masyarakat pinggiran (peripheral societies). Kalau saja pemenuhan kebutuhan akan bahan-bahan hasil bumi tersebut diselenggarakan melalui perdagangan yang adil (fair trade), tidak melalui cara-cara kolonialistis dan imperialistis, maka sudah lama Dunia Timur sama majunya dengan Dunia Barat. Dari keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan tersebut, Syarif Abdurrahman dapat menambah armada perdagangannya berupa sebuah kapal layar besar yang dinamainya Tiang Sambung dilengkapi dengan meriam gurnada, lila dan pamuras (Rahman, 2000:52-53). Dengan armada, peralatan dan barang modal yang semakin bertambah dari hari kehari, ia telah memenuhi keinginannya baik untuk menjadi pedagang dan pelayar ulung, maupun untuk memenuhi ambisinya membangun tempat pemukiman tetap yang strategis dalam segala hal yang ia dan ayahnya telah lama dambakan untuk anak, cucu, para pengikut setianya dan keturunan mereka. Dengan pemukiman itu mereka tidak hanya menjadi qadhi, imam besar dan pemuka agama, tetapi menjadi pemimpim yang mengayomi umat dan bagi kemaslahatan rakyat dan keturunan mereka. Untuk memenuhi ambisinya tidak ada jalan lain ia harus memiliki armada dan peralatan yang lengkap, serta didukung oleh awak kapal yang cukup dari segi jumlah, kualitas dan kesetiaan, serta nakhoda yang memiliki keahlian dan keberanian. Beruntung, ia telah memiliki sebagian besar dari keperluan itu, dalam pelayarannya ia selalu bersama armada dan peralatan yang relatif lengkap serta didampingi oleh sejumlah awak dan Nakhoda yang bernama Daud yang setia (Rahman, 2000:52-53). Setahun berada di Banjarmasin, pada tahun 1768 Abdurrahman Al-Qadrie mengawini puteri Raja Banjar bernama Syarifah Anum atau Ratu Syahranum dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Perkawinan ini, selain merupakan sekedar keinginan pribadi yaitu untuk mengembangkan tali kekeluargaan antara keluarga kerajaan Banjar dengan kerajaan Mempawah, juga dianggap sebagai perkawinan politik untuk memperkuat aliansi paling tidak antara tiga kerajaan di Kalimantan: Mempawah, Matan dan Banjar. Aliansi ini berdampak positif bagi dukungan terhadap Abdurrahman dan armadanya untuk menciptakan keamanan pelayaran dan perdagangan kapal-kapal dagang sipil Inggeris, Perancis, Cina dan pedagang Islam lainnya dari perompak atau bajak laut yang mengganggu keamanan kawasan Selat Karimata, Selat Malaka dan Selat Makassar. Perkawinan politik itu juga bermanfaat dalam mendukung obsesinya untuk mendirikan pemukiman tetap dan mengusir dominasi Barat yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara ini. Sekembalinya dari penjelajahan[8]nya beberapa kawasan disekitar Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Bangka, Laut Jawa dan Selat Makasar, pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 atau pertengahan 1771, Habib Hussein dan Panembahan Opu Daeng Menambon telah meninggal dunia. Wafatnya kedua orang yang sangat dihormati dan dibanggakannya itu telah menjadi salah satu pendorong kuat bagi Syarif Abdurraham untuk mencari tempat pemukiman baru tidak saja sebagai pusat perdagangan tetapi juga sebagai pusat pemerintahan dari kerajaan baru yang dipimpim oleh salah seorang dari empat orang saudara laki-lakinya. Setelah bermusyawarah dengan keluarga besarnya, termasuk dengan Panembahan Adijaya -- putera Opu Daeng Menambon yang diangkat sebagai Panembahan Mempawah -- dan empat saudara laki-lakinya -- Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie dan Syarif Muhammad, akhirnya mereka meninggalkan Mempawah mencari pusat pemukiman, dan Syarif Abdurrahman ditunjuk sebagai kepala rombongan besar itu. Penunjukan dengan suara bulat kepada Abdurrahman disebabkan tidak hanya ia merupakan saudara laki-laki tertua dari keluarga atau dinasti Al-Qadrie tetapi juga ia memiliki pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan persetujuan itu cita-cita ayahnya dan obsesinya sejak kecil serta persiapan matang yang dilakukan Abdurraman sejak lama, tampaknya akan terealisasikan. Pada pukul 14.00 Jum’at, 9 Rajab tahun 1185 H atau 1771 M, setelah sembahyang Jum’at, Pangeran Abdurrahman Al-Qadrie berangkat bersama seluruh keluarganya menuju ke pemukiman baru yang belum mereka ketahui dalam satu konvoi besar yang terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan peralatan tidur, makanan, minuman untuk dua bulan. Armada yang terdiri dari 16 buah kapal itu dilengkapi dengan persenjataan beberapa buah meriam, persenjataan konvensional lainnya, para pengikut setianya dan sejumlah awak kapal cukup banyak jumlahnya diantaranya terdiri dari orang-orang Benggali yang berasal dari kapal-kapal Perancis yang pernah dikalahkannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud pengikut setianya. Setelah empat hari perjalanan sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang dinamai Batu Layang terletak 15 km dari muara Sungai Kapuas atau lima kilo meter dari kota Pontianak. Tempat itu kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Qadriah sampai sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanan sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungan Kapuas dan Sungai Landak. Di kawasan ini, berdasarkan mitologi atau dongeng tradisional Kalbar rombongan Pangeran Abdurrahman diganggu oleh dan berperang dengan “makhluk halus” khas Pontianak yang disebut “hantu kuntilanak.”[9] Pada subuh hari Rabu tanggal 14 Rajab 1185 bertepatan dengan 23 Oktober 1771 rombongan Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie memasuki kawasan perairan di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki “hantu Kuntilanak” itu sampai perompak itu melarikan diri. Pada pukul 08.00 hari yang sama rombongan itu mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas tidak jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Mesjid Jami’ Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Kemudian Abdurrahman dan para pengikutnya mulai mempersiapkan tempat pemukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau tersebut. Pemukiman itulah kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak. Mengapa Abdurrahman memutuskan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan kesultanannya? Pertama, dari segi religiositas, sebagai seorang yang taat beragama ia telah meminta petunjuk dariNya dan yakin akan petunjuk itu, karena sebelum sampai ketempat itu ia telah sampai ke beberapa tempat, antara lain Segedong di Sungai Peniti -- berlokasi sekitar 20 km dari kota Pontianak, namun tempat itu tidak menjadi pilihannya. Kedua, keputusan itu merupakan hasil musyawarah antara Syarif Abdurrahman dengan empat saudara laki-lakinya, isterinya, Nakhoda Daud dan beberapa pengikutnya. Ini menunjukkan bahwa walaupun Abdurrahman telah dipercaya menjadi pemimpin dalam keluarga besarnya, namun ia masih menginginkan musyawarah. Kebiasaan semacam ini terus dipraktekkannya walaupu a telah menjadi sultan. Ketiga, keputusan itu merupakan hasil dari pengetahuan maritim praktis yang diperolehnya selama bertahun-tahun menjelajah berbagai pulau, laut dan sungai sehingga ia menemukan pemukiman sebagaimana ia dambakan sebelumnya. Keberhasilan Syarif Abdurrahman menemukan Kawasan pemukiman yang sangat strategis dalam geografis yang aman dari bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami dan angin taufan hingga sekarang, menurut Jimmy Ibrahim (1971:59), tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Dengan masih tegak berdirinya istana Kesultanan Qadriah Pontianak hingga sekarang ini tidaklah berlebihan kalau Syarif Abdurrahman disebut sebagai seorang yang akhli Maritim dan akhli strategi. 3. Para Sultan yang Berkuasa di Kesultanan Qadriah Pontianak. Kesultanan Qadariyah Pontianak merupakan kesultanan termuda dan terbungsu di Nusantara, setelah itu tidak ada lagi kerajaan lain yang lahir di kawasan kepulauan jamrud Khatullistiwa ini. Selain itu usia kesultanan ini juga secara politik pemerintahan relatif tidak terlalu panjang dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di kawasan Kalimantan bagian barat ini. Kekuasaan politik riil dan relatif mutlak tidak lebih dari 179 tahun, 2 bulan 13 hari, dihitung dari kelahirannya -- 23 Oktober 1771-- berakhir pada awal kemerdekaan negara Republik Indonesia (RI) -- tepatnya 5 Januari 1950 -- yaitu berakhirnya kekuasaa Sultan Hamid II. Selama berusia 173 tahun lebih dua bulan 20 hari, kesultanan ini dipimpin oleh 8 (delapan) raja atau sultan yang jangka waktu atau usia pemerintahan mereka berbeda antara satu sultan dengan sultan lainnya. Kedelapan sultan yang pernah memerintah Kesultanan Qadriah adalah sebagai berikut: 1) Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, 1778 – 1808. 2) Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819, 3) Sultan Syarif Usman Al-Qadrie, 1819 – 1855; 4) Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1855 – 1872; 5) Sultan Syarif Yusuf Al-Qadrie, 1872 – 1895; 6) Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie, 1895 –1944; 7) Sultan Syarif Thaha Al-Qadrie, Agustus – Oktober 1945. 8) Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1945 – 1950. 3.1. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie Nur Alam bin Habib Hussein Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman lahir di Matan pada tahun 1739. Delapan tahun lamanya setelah membangun dan bermukim di kerajaan Pontianak ia dinobatkan oleh Raja Riau Sultan Haji sebagai sultan pertama di Istana Qadriah Pontianak pada hari Senin 8 Syakhban 1192 H bertepatan dengan tahun 1778 M. Penobatan itu dihadiri oleh para Panembahan dan Sultan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan Riau[10] Raja Haji adalah putera Daeng Celak dan ponakan Daeng Manambon. Kedua Sultan keturunan Bugis Luwuk ini adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka. Kelima bersaudara ini berperan besar dalam membantu perkembangan Kerajaan Matan, Sukadana, Mempawah, Riau, Siak, Pontianak, Banjar, Indragiri, Jambi, Palembang, Malaka, Johor, Kedah, Selanggor dan Perak. Raja Haji sendiri dari Kesultanan Riau berjuang mempersatukan kerajaan-kerajaan disepanjang pantai Timur Sumatera, Semenanjung Malaya dan Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan bagian Barat. Hubungan erat dan sentimental antara sesama kerajaan-kerajaan tersebut merupakan perwujudan dari perpaduan antara keturunan Arab, Bugis, Melayu, Dayak, dan Banjar, yang sekaligus telah memperkokoh Wawasan Nusantara dan Wawasan Nasional – jauh sebelum konsep dan ide wawasan ini diperkenalkan dalam ideologi kebangsaan. Di sini peranan Kesultanan Pontianak, khususnya Sultan Abdrrahman Al-Qadrie, sangat menentukan. Hubungan kekeluargaan dan politik dalam satu wawasan seperti ini sangat dicurigai oleh VOC. Kongsi Dagang Belanda ini menganggap bahwa kedekatan hubungan antara kerajaan sepanjang pantai Timur Sumatera dan Kalimantan merupakan bentuk persekutuan politik yang ingin menentang VOC. Oleh karena itu, apapun motifnya “persekutuan politik” seperti itu, menurut VOC (cari sejarah nasional/perjuangan Indonesia) perlu dihancurkan. Setelah Nicholas De Cloek, utusan Batavia pertama ke Kerajaan Pontianak akhir tahun 1778, dianggap gagal “menjinakkan” Sultan Abdurrahman, pada Juli 1779 VOC mengirim lagi utusannya ke Pontianak yaitu Willem Adriaan Palm yang menjabat Komisaris VOC. Dengan dalih ingin mendirikan perwakilan dagang di kerajaan ini, VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di kerajaan Pontianak. Willem Adriaan Palm digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang menjabat sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784) berkedudukan di Pontianak. Melalui Resident ini VOC mulai membangun pemukiman, pabrik-pabrik, pertahanan dan benteng di seberang tepian Barat Sungai Kapuas tepat di kawasan seberang istana Kerajaan Pontianak. Kawasan ini mulanya diperoleh dari kebaikan hati Sultan Abdurrahman dengan memberikan ijin pinjaman untuk mendirikan tempat kegiatan dan pemukiman orang-orang Belanda yang, menurut Ansar Rahman (2000:90-91), dikenal dengan penguasaan tanah seribu, karena tanah yang dipinjam itu seluas 1.000 meter2. Akan tetapi dalam waktu tidak lebih lama dari sekitar 10 tahun, Pemerintahan Belanda di Batavia telah memperoleh hak atas pemukiman tersebut, bahkan kawasan itu telah menjadi kosentrasi atau pusat politik, yaitu tempat pusat kegiatan administrasi Karesidenan van Borneo’s Wester Afdeling I, dan pusat kegiatan ekonomi Pemerintah Batavia. Kawasan pusat kegiatan pemeritahan dan ekonomi ini telah menjadi bukan hanya saingan Pemerintahan Kesultanan Abdurrahman, tetapi juga kekuatan pengontrol terhadap hampir setiap aktivitas kesultanan ini. 3.2. Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819. Sultan Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan Utin Candramidi. Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia diangkat oleh ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 - 1790 yang dikehendaki oleh Batavia. Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara. karena Gusti Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi bersama panglima perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin. Kerajaan Mempawah dalam rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali. Kompeni Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan Pontianak dan Mempawah. Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Perjanjian yang berat sebelah itu ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan dikedua di kesultanan itu. Rasa tidak senang dan kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif Kasim, bertambah besar dan disebabkan oleh beberapa hal: (1) usaha campur tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya; (2) Syarif Kasim, berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya tanpa alasan jelas; (3) dan tindakan kekerasan dan tercela lainnya terhadap lawan-lawan politiknya. Tindakan negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewaris tahta Kesultanan Pontianak menggantikannya. Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari, sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya. Ketika ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu, dengan pertimbangan: 1) Syarif Usman masih kecil dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan; 2) Ia sangat menghargainya saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya; 3) Syarif Kasim berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia akan melunasi hutang ayahnya. Sampai akhir kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain. Kesalahan paling fatal adalah bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial Belanda menugaskan Komisaris Broek Holts bersama sejumlah serdadunya untuk datang ke Pontianak untuk melindunginya keamanannya. Kesalahan-kesalahan seperti itu harus dibayar mahal. Secara resmi Belanda berkuasa kembali di Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak pada 9 Agustus 1818. Syarif Kasim menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari 1819, dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di Pontianak bernama Marianne’s Oord[11] (Rahman, 2000:112-113). Taktik Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini tampaknya, menurut Alvin So (1990: … - …) dan Gunder Frank, 1989), merupakan realisasi awal dari keserakahan Barat, dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui hubungan eksploitatif. Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang “membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri bernama Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84). 3.3. Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855). Syarif Usman Alqadrie menduduki jabatan Sultan Qadriah Pontianak Ketiga menggantikan Syarif Kasim dan pengangkatan ini mendapat dukungan dari sebagian terbesar rakyatnya. Alasan mengapa Sultan Usman mendapat dukungan baik dari keluarga besar Kesultanan Qadariyah dan sebagian besar rakyat Pontianak maupun dari Batavia antara lain adalah penghargaan atas kesetiaan dan kesabarannya menjadi Pangeran Ratu dan mengamankan kekuasaan Sultan Kasim selama 11 tahun. Ia dikenal jujur, dianggap dapat melunasi hutang-hutang ayahdanya, dan lebih umanah dan mampu untuk membangun kesultanan Qadriyah. Menyadari terbatasnya kemampuan militer yang dimilikinya, Sultan Syarif Usman hampir tidak berdaya menghadapi Belanda dengan persenjataan relatif lengkap walaupun ia mendapat dukungan dari sebagian terbesar kerabat kerajaan dan penduduk setempat. Ia melihat bahwa hampir tidak ada jalan lain kecuali sementara “mengikuti” keinginan Pemerintah Kolonial Belanda dengan meneruskan perjanjian yang telah dibuat pendahulunya, dengan menanda tangani perjanjian baru pada tahun 1819, 1822 dan 1823. Tiga buah perjanjian tersebut di atas yang sangat mengikat dan merugikan fihak kesultanan, rakyat dan dirinya antara lain adalah bahwa fihak kesultanan tidak lagi memiliki kekuasaan dan penghasilan sepenuhnya tetapi kekuasaan pemerintahan dan penghasilan kesultanan telah dibagi dua dengan Pemerintah Belanda di Batavia. Bahkan, menyusul lagi ketentuan baru, berdasarkan catatan Rahman (2000:118) Sultan tidak lagi mendapatkan separuh (50%) dari penghasilan kesultanan sebagaimana ketentuan sebelumnya, tetapi Sultan hanya diberikan tunjangan 42.000 gulden setiap tahun. Ketentuan ini tidak saja menimbulkan kerugian bagi fihak kesultanan secara material, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap dan penghancuran martabat/marwah (dignity) kesultanan yang berdaulat dan memperoleh dukungan dari rakyat. Belanda memperlakukan sultan dan para pemuka Kesultanan Qadriah sebagai tidak lebih dari para pegawai dan buruh kontrakan yang makan gaji dari Belanda. Hal lain yang sangat memukul martabat kesultanan dan rakyat adalah diberlakukannya perjanjian 14 Oktober 1823 yang menetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas terhadap rakyat pribumi setempat disamping orang-orang Eropah dan Cina (Rahman, 2000:118). Ini bermakna bahwa Pemerintah kesultanan telah kehilangan kekuasaan dan ikatan terhadap rakyatnya. Kondisi penghancuran harga diri seperti ini ternyata telah menambah kebencian dan pembangkangan terhadap Belanda baik dari sebagian besar kerabat istana maupun dari tokoh/pemuka masyarakat, dan ini telah pula membesarkan Kampung Luar dan kampung-kampung lain sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda. Walaupun kesulitan dalam keuangan dan dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari kerabat kesultanan dan rakyat, Sultan Usman mampu membangun kembali Mesjid Agung/Jami’ tahun 1821 yang pernah dirintis oleh ayahdanya Sultan Abdurrahman, dan melanjutkan membangun istana kesultanan beserta tiang bendera kesultanan pada 19 Januari 1845 yang masih dapat ditemui sampai sekarang. Cengkeraman kuku kolonialisme Belanda ke dalam setiap sendi kehidupan kesultanan dan rakyat Pontianak ternyata merupakan penghalang utama bagi obsesi Sultan Syarif Usman untuk membangun kesultanan Islam yang berwibawa dan sejahtera di Nusantara pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya. Alasan ini merupakan salah satu pertimbangannya untuk mengundurkan diri 5 (lima) tahun lebih awal dari seharusnya. Berdasarkan tata aturan kerajaan seorang raja baru akan diganti setelah ia wafat, Syarif Usman wafat tahun 1860 tetapi ia telah mengundurkan diri pada bulan April 1855. Lima tahun sisa waktu hidupnya digunakannya bergabung dengan para “pembangkang” untuk melawan Belanda. 3.4. Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 - 1872). Syarif Hamid Alqadrie, lahir 1802, putera tertua Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie, dari isterinya Syarifah Zahara, menggantikan ayahdanya pada April 1855 sebagai Sultan Qadriah Pontianak Keempat, wafat 22 Agustus 1872. Semasa pemerintahannya dan sebagai kelanjutan dari masa kekuasaan ayahdanya, wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda semakin luas, sebaliknya wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak menjadi berkurang, karena pada tahun 1856 Belanda mengadakan kembali perjanjian dengan Sultan Syarif Hamid, perjanjian mana masih tetap sangat merugikan rakyat dan kesultanan. Disamping meluasnya wilayah kekuasaan Kolonial Belanda, ada sesuatu kontradiktif yang tampaknya dibuat oleh Pemerintahan Batavia. Residen Borneo Barat, menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850. Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang). Kawasan sebelah barat Sungai Kapuas Kecil yaitu seberang sungai dari Kesultanan ini, yang secara de facto dan de jure dikuasai Belanda, semakin berkembang dan telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan residen Belanda di Kalbar. Taktik Belanda seperti ini, yang dimulainya sejak Pemerintahan Sultan Kasim, dilaksanakan terus dalam rangka memperkecil pengaruh Kesultanan Qadriah Pontianak serta mengucilkan Sultan Hamid. Untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagai akibat dari perjanjian yang diterapkan Belanda hanya memberi penggajian kepada sultan, petugas kesultanan dan kerabatnya, Sultan Hamid menerapkan suatu pendekatan “kekeluargaan” terhadap petani kelapa di Sungai Kakap sehingga ia banyak memperoleh keuntungan dari sub sektor ini yang justru dianggap “merugikan” Belanda. Karena itu Belanda mendirikan semacam Persatuan Petani Kelapa diketuai oleh Syarif Abdurrahman untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dengan hukum kolonial Belanda. 3.5. Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895). Putera tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie dari isterinya Syarifah Fatimah, yang bernama Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 1850 dan wafat 15 Maret 1895 dalam usia 45 tahun, diangkat sebagai Sultan Pontianak Kelima menggantikan ayahdanya beberapa bulan setelah ayahdanya meninggal pada tahun 1872. Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap pula sebagai penyebar agama Islam. Oleh karena itu, sultan ini sangat terkenal dan dihormati oleh raja-raja di kawasan Kalimantan, Nusantara, bahkan sampai di luar negeri, sebagai kepala negara dari kerajaan Islam yang disegani kawan maupun lawan. Seperti kebiasaan Belanda sebelum-sebelumnya, begitu ayahdanya wafat dan ia naik tahta, 22 Agustus 1872, Belanda mengadakan lagi perjanjian baru dengan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie. Perjanjian itu antara lain mengatur bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada kesultanan. Dengan persetujuan pejabat tinggi pemerintahan Belanda (Bestuur Ambenaar) untuk pertama kalinya kesultanan Pontianak diperkenankan memungut pajak di wilayahnya. Penyerahan kekuasaan polisi kepada kesultanan didasarkan pada fakta bahwa selama dipegang oleh Belanda, penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Ketika mereka melakukan apa yang disebut sebagai “pelanggaran” hukum, mereka menghilang dan bersembunyi ke hutan atau ke kawasan pedalaman, sehingga hanya fihak kesultanan yang dapat membujuk mereka untuk diadili. Penyerahan pemungutan pajak kepada kesultanan juga didasarkan pada pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda, karena hasil pajak itu tidak dinikmati sendiri oleh kesultanan tetapi dibagi dua dengan Belanda. Dimasa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf, banyak pendatang (imigrants) Bugis/Makasar gelombang kedua berdatangan. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pekebun, dan memilih bermukim di kawasan kesultanan, yaitu Kampung Dalam Bugis, Jungkat, Peniti, Wajok (sekarang termasuk kecamatan Siantan), dan Sungai Kakap serta sepanjang Sungai Jawi (sekarang bagian dari Kabupaten Potianak dan kota Pontianak). Pendatang lain berasal dari Banjar, Serasan, Sampit, Pulau Bangka, Belitung, Tambelan, Melaka, dan Kamboja sehingga kawasan pemukiman mereka masing-masing dinamai Kampung Banjar, Sampit, Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan dan Kampung Kamboja. Para pendatang dari Banjar yang sangat terkenal adalah Haji Muhammad Kahfi datang tahun 1846 dan Haji Muhammad Yusuf tahun 1884 yang masing-masing mendirikan Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon (Alqadrie, 1984:80) , karena isterinya adalah seorang wanita Vietnam. Kedatangan mereka sangat menguntungkan kesultanan baik secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik, karena mereka dan keturunan mereka adalah pendukung setia kesultanan, mengindentifikasikan diri sebagai Melayu Pontianak, maupun secara material dan finansil merupakan sumber ekonomi berupa penghasilan atau pendapatan kesultanan. Mereka, terutama Bugis Makasar, datang ke kawasan kesultanan ini dimotivasi oleh faktor budaya (cultural factor), yaitu siri’ masiri’ (Alqadrie dalam Latif Usman, 2000:146-161), sehingga mereka menjadi petani sangat produktif dan pekebun yang mengusahakan tanam-tanaman tahunan (year-round trees) yang cepat menghasilkan uang (cash crops) sebagai tabungan hari depan. Paling kurang tiga hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yusuf Alqadrie. Pertama, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Boemi tahun 1870 yang mengizinkan pemilik modal membuka perkebunan dan mengelola hutan. Sejak saat itu sub sektor perkebunan karet di kawasan kesultanan ini mulai mengalami primadona, dan eksploitasi hutan mulai dilakukan. Modal swasta Belanda mulai berdatangan ke dalam dua sub sektor ini. Alasan utama keluarnya UU tersebut adalah bahwa Belanda memerlukan dana untuk biaya perang Aceh (1873-1907) dan perang Lombok (1894), dan bahwa UU itu merupakan alat kontrol dan penghancur mobilisasi, soliditas dan solidaritas rakyat, terutama sub kelompok etnis Melayu, Dayak, Bugis, Banjar, keturunan Arab, yang dicurigai terpusat di luar kota kesultanan (luar bandar) khususnya di kawasan hutan dan pedesaan, dengan memasukkan penduduk dari Pulau Jawa, Ambon dan Nusa Tenggara Timur. Kedua, Sultan Yusuf semakin kehilangan kekuatan dan kekuasaannya, karena ia tidak memiliki kekuatan maritim, seperti kapal perang dan persenjataan lengkap yang dapat dihandalkan. Padahal secara geopolitik dan geostrategis, pertahanan dan kekuatan Kesultanan Pontianak terletak pada maritimnya yang didukung oleh armada kapal perangnya. Ketiga, pada 10 Agustus 1886 dibuat pula perjanjian perbatasan Kesultanan Pontianak dan kerajaan Landak ditandatangani oleh Sultan Yusuf Alqadrie dan Pangeran Kusuma Dinata, Wakil Panembahan Landak, dengan disaksikan oleh Residen Belanda. Perjanjian itu mengkhiri pertikaian antara kedua kerajaan itu. 3.6. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944). Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie -- Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 8 Januari 1872, diangkat sebagai Sultan Pontianak Keenam pada tanggal 6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun. Syarif Muhammad merupakan sultan terakhir dari dinasti Alqadrie yang berkuasa dan memimpin pemerintahan pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda. Sultan dari generasi selanjutnya, tidak lebih hanya merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai ketua atau kepala dari istana yang mewakili kerabat atau keluarga besar untuk kelanjutan dinasti dan budayanya. Bahkan menurut beberapa penulis sejarah (Rahman, 2000:138; Alqadrie, 1979:89) Syarif Muhammad adalah sultan yang mewarisi sisa-sisa kekuasaan yang “diberikan” Belanda. Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Isinya (Rahman, 2000:138) antara lain adalah: (1) Pemerintah Hindia Belanda secara aktif menentukan personalia kesultanan; (2) Belanda memberlakukan Hukum Pidana dan Perdata di lingkungan kesultanan; (3) Seluruh pegawai kesultanan digaji oleh pemerintah Belanda. Dua hal mendasar terkandung di dalam perjanjian yang sangat mengikat ini adalah: pertama, apa yang disebut globalisasi yang berkarakter penundukan dan penciptaan ketergantungan di Indonesia, khususnya di sektor hukum, sebenarnya dimulai di Kesultanan Pontianak pada 1912[12]; kedua, perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia. Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya. Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini. Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya. Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Mohammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan -- Belanda dan Jepang ketika Nusantara masih dikuasai masing-masing oleh pemerintahan kolonial Belanda dan oleh pemerintahan bala tentara Fasis Jepang sejak 1942 – yang berdampak negatif yaitu diperketatnya kontrol pemerintah kolonial Belanda terhadap hampir semua kegiatan dan sektor kehidupan rakyat, dan ditangkap dan dibunuhnya 30 orang kerabat kesultanan, para pemuka, pemimpin dan tokoh masyarakat Pontianak yang semuanya berjumlah sekitar 10.000 ( Yanis, 1983: 170-182; Alqadrie, 1984:65) oleh Militer Fasis Jepang, termasuk Sultan Muhammad serta ayah penulis makalah ini, Syarif Akhmad Alqadrie. Sultan Muhammad ditangkap Balatentara Jepang pada malam hari Senin, 24 Januari 1944. Penangkapan pada gelombang berikutnya dilakukan Balatentara Jepang terhadap tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan, dan mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944. Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan (Rahman, 2000:146,155; Yanis, 1983: 182-183), dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang selamat dari pembantaian Jepang (Rivai, 1995:26). 3.7. Sultan Syarif Thaha Alqadrie (Agustus – Oktober 1945). Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad, beserta para kerabat istana, tokoh dan pemuka masyarakat Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, yang dikenal dengan Peristiwa Mandor, ternyata menghancurkan semangat, mental dan moril keluarga besar kesultanan, bahkan masyarakat Pontianak dan Kalbar. Ternyata adalah sangat sulit mencari pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie untuk diangkat sebagai sultan, karena beberapa penulis (Rahman, 2000: 146-153; Yanis, 1983: 172-182, Rivai, 1995: 24-27, Alqadrie, 1984:64) memperhitungkan sejumah 30 orang kerabat istana yang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan sekitar 24 orang terdiri dari sultan atau panembahan, tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan Kalbar, dan Pontianak khususnya, dari berbagai anggota kelompok etnis, termasuk Cina keturunan, juga menjadi korban keganasan Balatentara Fasis Jepang. Rapat di istana Qadriah tanggal 29 Agustus 1945 untuk mencari pegganti Sultan Syarif Muhammad yang dihadiri oleh Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai), wakil dari pemerintah balatentara Jepang, para tokoh/pemuka masyarakat, cendekiawan Pontianak, dan kerabat istana yang luput dari pembunuhan, akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Muhammad dari puteri keduanya bernama Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendara, dilantik sebagai Sultan Qadriah Pontianak Ketujuh. Sebenarnya pengganti Sultan Syarif Muhammad, berdasarkan tata krama tradisional kerajaan, seharusnya adalah salah seorang dari 5 (lima) puteranya, tetapi 4 (empat) puteranya, menurut catatan Ansar Rahman (2000:154,173) dan Mawardi Rivai (1995:25-26) juga menjadi korban keganasan Jepang. Seorang puteranya yang masih hidup, bernama Syarif Hamid Alqadrie -- perwira KNIL -- sedang berada dalam tahanan Jepang di Batavia. Pengangkatan Syarif Thaha sebagai sultan disetujui oleh sebagian kerabat istana termasuk Syarifah Maryam -- bibi atau kakak/embakyu bundanya -- puteri tertua dari Sultan Muhammad, oleh para pemimpin, tokoh pergerakan, sebagian masyarakat dan pemukanya, serta wakil pemerintaha Jepang yang masih berada di Pontianak. Berbeda dengan kakekdanya, Sultan Syarif Muhammad yang masa kekuasaannya merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha, sangat pendek, hanya sekitar 3 (tiga) bulan. Dalam masa pemerintahanya, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak. Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah: (1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang; (2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan; (3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak. Berbeda dengan masyarakat keturunan Arab yang banyak berbaur dengan masyarakat setempat, mengikuti organisasi pergerakan dan berorientasi pada kepentingan dan identitas penduduk mayoritas, sebagian besar anggota komunitas keturunan Cina tampaknya memiliki jarak dengan masyarakat setempat. Padahal, pada pola pembauran ala Filipina, mereka membaur dan masuk ke dalam kehidupan budaya mayoritas penduduk setempat yang beragama Katolik. Di Indonesia pada umumnya, di Kalbar dan di Pontianak lebih khusus lagi, kalaulah mereka bersedia masuk ke dalam agama yang dianut oleh penduduk mayoritas -- saudaranya kelompok etnis Melayu, Bugis dan Banjar, maka pembentukan PKO yang merisaukan saudaranya tidak perlu terjadi. Jarak antara mereka -- anggota kelompok etnis keturunan Cina dan penduduk setempat -- tidak dengan sendirinya berarti tidak ada komunikasi dan interaksi antara mereka. Batas-batas budaya (atau eksklusivitas = tambahan penulis), menurut pengamatan Baarth (1996:…..), dapat terjadi, walaupun anggota kelompok etnis saling berbaur, perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh terjadi tidaknya pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan atau penyatuan. Anggota kelompok etnis keturunan Cina di Pontianak pada saat kekosongan kekuasaan yaitu tidak adanya/ tidak jelasnya siapa pengganti Sultan Muhammad tampaknya merasa tidak aman. Selama pemerintahan dinasti Al-Qadrie mereka merasa aman dan terlindungi. Selain itu, mereka juga memiliki loyalitas cukup tinggi baik kepada kesultanan maupun kepada NKRI yang segera akan terbentuk. Ini terbukti bahwa pada Peristiwa Mandor tidak sedikit tokoh dan pemuka masyarakat keturunan ini ikut menjadi korban keganasan balatentara Jepang (Yanis, 1983: 172-182, 219-221; Rivai, 1995: 24-27). Masuknya pasukan Dayak ke Pontianak untuk menuntut diangkatnya Sultan Pontianak menunjukkan paling tidak tiga hal: (1) Sejak lama anggota kelompok etnis Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub kelompok (anak suku) memiliki tanggung jawab dan komitmen yang besar terhadap jalannya pemerintahan dan kemajuan daerah ini. Mahrus Effendy (1998:123) mencatat bahwa kedatangan pasukan Dayak ini menunjukkan kesetiaan mereka terhadap kesultanan; (2) Adanya integrasi, pembauran yang kuat antara berbagai kelompok etnis, terutama keturunan dan keluarga besar kesultanan dengan anggota kelompok etnis Dayak; (3) Adanya perasaan satu keluarga, satu ibu, antara kelompok etnis Dayak dan Melayu. Perasaan bersaudara itu tidak akan pecah oleh intervensi politik praktis. Kedatangan tentara Australia atas nama sekutu dibawah Kolonel Cotton bersama pasukan Belanda untuk melucuti tentara Jepang menambah suasana Pontianak menjadi kacau, karena mereka dating ke Pontianak ternyata ingin mengembalikan kekuasaan Belanda. Mereka menaikkan bendera Belanda di Kantor Residen. Keinginanan ini ditantang oleh Pemuda Perjuangan Republik Indonesia (PPRI) dan Rakyat dengan berdemonstrasi diberbagai tempat. Kondisi serba kacau ini menyulitkan Residen Asikin Noor dan Syarif Thaha memimpin Pontianak. Gubernur Jenderal Belanda mengangkat Dr. Van der Zwaal tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Residen Kalbar, sedangkan Asikin Noor dikembalikan ke Banjarmasin. Ia juga mendatangkan Sultan Syarif Hamid II yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang ke Pontianak untuk menjabat sebagai Sultan Pontianak. Dengan pertimbangan masih sangat muda dan Sultan Hamid II adalah pamannya sendiri, Sultan Syarif Thaha menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri (Alqadrie, 1979: 55; 1984:64) kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak. 3.8. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie (1945 – 1950). Syarif Hamid bin Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 12 Juli 1913, adalah putera sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie dari isteri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani. Ia mendapat pendidikan yang sangat baik tidak hanya dalam pendidikan formal di dalam negeri di Pontianak dan kebanyakan di jawa dan di luar negeri, tetapi juga informal, berupa sekolah agama Islam, dan non formal, berupa pengasuhan dari keluarga wanita Inggeris. Pada tahun 1933 Syarif Hamid memasuki Akademi Militer Belanda (Koningkelijk Militair Academie/KMA), Breda. Begitu lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua, dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa (Rahman, 2000: 172). Begitu Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie ditahan di penjara Batavia, dan baru dibebaskan ketika Jepang menyerah dan tentara sekutu memasuki Indonesia pada permulaan 1945. Ia diaktifkan kembali sebagai perwira KNIL dengan pangkat Kolonel, suatu pangkat tertinggi pada saat itu yang diberikan kepada putera Indonesia kelahiran Pontianak. Sekeluar dari penjara, ia langsung kembali ke Pontianak, karena keprihatinannya dengan kondisi Kesultanan Pontianak dan Kalbar yang kacau balau pada saat itu. Syarif Hamid dilantik sebagai Sultan Pontianak Kedelapan yang dikenal dengan Sultan Hamid II, pada 29 Oktober 1945. Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampi sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong. Ia meninggalkan jabatan baik sebagai sultan terakhir dari dinasti Alqadrie maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalbar (D.I. KB) pada 5 Januari 1950. Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaannya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung RI menuntut dibubarkannya D.I. KB. Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan masyarakat tantang status D.I. KB[13]. Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS. Sultan Hamid II wafat di Jakarta tanggal 30 Maret 1978. 
Sumber : dari berbagai sumber , sebagian diambil dari http://syarif-untan.tripod.com/Budaya.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar